Apakah jin juga berpuasa dan berlebaran seperti halnya manusia?
Allah berfirman, “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzaariat [51]: 56). Jika kita berkaca pada ayat ini, maka tentu jin pun akan berpuasa dan berlebaran untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah. Sebab, puasa adalah bagian dari ibadah wajib kepada Allah. Tentu, jin (Muslim) pun tidak ingin masuk neraka hanya karena tidak berpuasa.
Dari ayat ini pula sebenarnya bisa kita ambil kesimpulan bahwa di antara jin juga ada yang Muslim seperti manusia. Jin muslim inilah yang selalu taat kepada Allah dan melaksanakan segala perintah-Nya seperti halnya seorang manusia yang beriman dan bertakwa.
Namun, apakah puasanya jin itu sama seperti puasanya manusia yaitu dimulai sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari? Tidak ada dalil yang pasti mengenai ini. Namun, banyak yang berpendapat bahwa seperti halnya manusia jin Muslim juga mengikuti syariat Nabi-nabi mereka. Karena sekarang kita hidup dengan syariat Nabi Muhammad, maka jin Muslim pun mengikuti syariat beliau.
Sebagai makhluk yang mengikuti syariat Nabi Muhammad, tentu semua ibadah yang dikerjakan oleh jin juga sama dengan yang dikerjakan oleh manusia, termasuk cara puasa mereka. Artinya, kemungkinan besar jin pun berpuasa dengan menahan rasa lapar, dahaga dan seksual mereka sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.
Menurut Panji Semirang, golongan jin beribadah menurut syariat pada masa Nabi berada. Untuk sekarang para jin beribadah mengikuti cara Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an menguatkan persepsi ini dalam QS Al-Jin,
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an) lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (Al-Jin [72]: 1-3).
Ayat di atas nampak bahwa jin pun sangat bergairah untuk belajar al-Qur’an pada Nabi. Diakui sendiri oleh para jin bahwa al-Qur’an telah memberikan hidayah yang luar biasa. Tanpa sadar, landasan ilmiah ini menegaskan bahwa sistem peribadatan mereka (para jin) juga sama dengan manusia yaitu membaca al-Qur’an, shalat dan berpuasa.
Dalam dunia ghaib dikenal istilah Lailatul Jin (Malam Jin). Malam jin adalah malam di mana mereka menemui Rasulullah kemudian Rasul bersama mereka mendatangi kaum jin tersebut. Saat itulah, kaum jin mempelajari agama Islam dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sekali lagi, istilah ini menegaskan akan korelasi antara jin dan manusia untuk sama-sama mereguk syariat Nabi Muhammad. Ini artinya, sudah tentu jin pun berpuasa ketika hari yang mulia ini tiba. Tentunya, setelah itu mereka akan melakukan perayaan syukuran yang disebut dengan lebaran. Hanya saja, kita tidak tahu konsepsi lebaran mereka? Yang jelas, mereka tidak akan makan ketupat lebaran seperti halnya manusia. Sebab, mereka memiliki jenis makanan sendiri.
Menarik sebuah perkataan dari Allamah Thaba’thabai. Beliau pernah berkata demikian, “Telah dinukil dari jin bahwa semua agama dan mazhab yang diikuti oleh umat manusia juga terdapat pada jin kecuali mazhab ahlul-sunnah. Karena segolongan jin yang menyaksikan Ghadir-Khum (pelantikan Imam Ali di Ghadir Khum) masih hidup sampai saat ini dan mereka ikut bersaksi atas pelantikan Imam Ali sebagai khalifah oleh Rasulullah Saw.”
Dari perkataan di atas jelas bahwa jangankan persoalan ritual puasa yang merupakan kewajiban makhluk Tuhan yang terkena taklif, persoalan mazhab pun Jin memilikinya seperti halnya manusia. Artinya, di dalam alam jin juga ada madzhab atau golongan yang berkiblat pada imam tertentu. Sebab, mereka juga punya ulama, ustadz dan pakarnya sendiri-sendiri seperti juga manusia.
Suatu ketika sahabat Imam Muhammad Baqir bernama Abu Hamzah berkunjung ke rumah beliau. Karena masih ada tamu lain yang sedang berbicara dengan Imam, dia menunggu di luar rumah. Ketika para tamu itu keluar, tidak satu pun yang dikenalnya. Kemudian dia meminta izin untuk masuk dan menganjurkan agar Imam waspada terhadap para tamu asing itu, karena boleh jadi mereka itu adalah mata-mata Bani Umayyah yang tidak segan-segan menumpahkan darah. Imam memberitahukan bahwa para tamu asing itu adalah jin-jin Muslim yang menanyakan berbagai persoalan masalah agama kepada beliau.
Dari kisah nyata di atas yang penulis ambil dari karya Ruqayyah Yaqubi, “Laskar Api: Buku Paling Pintar Tentang Jin”, jelas bahwa jin yang beragama Islam pun banyak bertanya pada manusia tentang syariat yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Ini artinya, bahwa perilaku religiusitas jin Muslim juga sama persis dengan yang dilakukan oleh manusia, baik dalam shalatnya, puasanya, dan (mungkin) lebarannya.
Bahkan, telah dinukilkan dari Ummu Salamah, istri baginda Rasul Saw. bahwa semenjak wafatnya baginda Rasul Saw. dia tidak pernah lagi mendengar tangisan jin. Hingga suatu malam kembali dia mendengar suara tangis jin, dan ternyata di hari itu, Al-Imam Husein as telah gugur syahid. Seorang wanita jin menangisi Imam Husein, dan berkata:
“Wahai kedua mataku, menangislah sekuatnya, karena setelahku nanti, siapa lagi nanti yang akan menangisi para syuhada Karbala. Menangislah untuk manusia-manusia suci yang ajal telah membawa mereka kepada penguasa keji dari turunan budak.”
Kisah yang diambil dari karya Ali Ridha Tijali Tehrani yang berjudul “Jin dan Setan” ini menunjukkan bahwa bangsa jin yang beragama Islam pun sangat berduka ketika orang yang dikasihi Allah meninggal dunia. Jika mereka tidak beriman, tidak mungkin mereka menangisi syuhada yang tewas di medan laga. Inilah sebuah simbol bagaimana bangsa jin Muslim pun memiliki ikatan psikologis yang kuat dengan bangsa manusia, apalagi yang beriman dan bertakwa kepada Allah.
Dalam kitab Laali al-Akhbar disebutkan, seorang zahid yang bersahabat dengan jin mukmin menceritakan, kala itu, ia sedang duduk di masjid di antara barisan, kemudian muncul teman jinnya seraya bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu melihat hati orang-orang yang berada di masjid ini?”
“Sebagian dari mereka tidur dan sebagian lagi terjaga,” jawabnya.
“”Apa yang engkau lihat di atas kepala mereka?” Tanyanya lagi.
“Aku tidak melihat sesuatu apapun,” katanya.
Lantas jin itu mengusap matanya dengan tangannya dan berkata, “Sekarang perhatikan!”
Tiba-tiba dia bisa melihat di setiap kepala mereka, berdiri seekor burung gagak.
Hanya saja, beberapa dari burung gagak tadi menutupi kedua mata orang yang berada di bawahnya dengan kedua sayapnya dan beberapa burung gagak lain tidak selalu menutupi kedua mata orang yang di bawahnya, melainkan adakalanya burung itu mengangkat kedua sayapnya.
“Apakah gagak itu?” tanyanya kepada jin mukmin.
Si jin pun menjawab, “Gagak-gagak itu adalah setan-setan penggoda. Manakala manusia melupakan Tuhannya, saat itu mereka akan menutupi mata manusia dengan kedua sayapnya, dan manakala manusia mengingat Tuhan-Nya, mereka akan mengangkat kedua sayap dari mata manusia.”
Sekali lagi, kisah di atas menandaskan bahwa jin Muslim pun dikenakan taklif untuk beribadah kepada Allah. Dari catatan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa jin yang telah menyatakan dirinya bersyahadat juga melakukan poin-poin religius seperti yang dilakukan oleh manusia yang beriman dan bertakwa, yaitu shalat, puasa dan (mungkin) lebaran. Sebab, pada dasarnya, kehidupan alam jin sama dengan alam manusia.
Dalam konteks puasa, karena jin pun mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw., maka ia pun menahan rasa lapar, haus dan seksualitas mereka sejak fajar hingga terbenamnya matahari pada bulan Ramadhan. Setelah mereka sebulan penuh berpuasa, mereka pun ikut merayakannya dengan suka cita, seolah perjuangan telah berhasil mereka lalui. Dalam konteks Muslim Indonesia, itulah yang dinamakan lebaran. Di alam jin, mungkin prosesnya sama, meski namanya berbeda. Yang jelas, mereka pun pasti akan merayakan suka cita pasca berpuasa, layaknya umat Muslim Indonesia merayakan lebaran. Wallahu a’lam bil shawab!
Eep Khunaefi
Jumat, Juli 31, 2009
KH. Ali Hasan, "WAJAHNYA TERSENYUM SAAT MENINGGAL DAN KUBURANNYA WANGI"
Wajahnya tersenyum saat meninggal dan tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya. Kuburannya sangat wangi dan melebar. Siapakah lelaki yang mendapatkan keistimewaan seperti ini?
Jumat Kliwon kelabu. Hari itu, desa Dukuh Jeruk, Karangampel, Indramayu telah kehilangan satu-satunya ulama yang tersisa untuk selama-lamanya. Namanya KH. Ali Hasan (70-an). Rohnya meninggalkan jasadnya dalam kondisi yang luar biasa manis. Wajahnya tampak berseri dan tersenyum saat meninggal dunia. Yang menghebohkan, selama seminggu berturut-turut kuburannya menyembur aroma wangi yang luar biasa.
Almarhum memang dikenal sebagai ulama kharismatik, yang tidak pernah lelah untuk terus berdakwah. Berdirinya Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) Al-Istiqamah dan Musholla Al-Istiqamah di dekat rumahnya menjadi simbol bagaimana perjuangan dakwah pak kiayi selama bertahun-tahun. Melalui kedua lembaga inilah pak kiayi menanamkan benih-benih agama pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa di desa Dukuh Jeruk dan sekitarnya.
Sifatnya yang patut dipuji adalah kegemarannya pada silaturrahmi ke tetangga. Ketika kondisi badannya tidak baik pun kerapkali ia memaksakan diri untuk berjalan kaki atau naik becak mengunjungi orang untuk bertamu. Dari satu tetangga ke tetangga lainnya ia kunjungi, hanya untuk mengetahui keadaan mereka.
Pak kiayi juga dikenal gemar sekali berderma. Ia seringkali memanggil kaum dhu’afa ke rumahnya lalu diberikan sedekah ala kadarnya. Jika orang itu menolak pemberiannya, justru ia akan marah. Sebab, kebaikan itu jangan ditolak. Ia ingin setiap kebaikannya menjadi tabungan terbaik di akhirat nanti.
Pun beliau dikenal sangat amanah. Ia tidak berani menggunakan uang khas madrasah dan musholla, padahal kedua lembaga itu miliknya juga. Ia tidak mau menggunakannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Karena itu, jika ada uang dari kedua lembaga itu dipakainya, maka segera ia menggantikannya. Ia tidak mau makan dari barang yang bukan haknya alias barang haram.
Begitulah sosok yang sangat diteladani dan dihormati itu. Karena itu, ketika dikabarkan meninggal dunia, banyak sekali orang yang berduka. Banyak orang yang melayat ke rumahnya, hanya untuk mengungkapkan bela sungkawa.
Namun, beberapa bulan sebelum pak kiayi meninggal sebenarnya banyak keanehan menyelimuti kehidupannya. Bagi kebanyakan orang, keanehan yang dialami oleh pak kiayi ini sebagai hal yang tidak masuk akal. Namun, bagi sebagian yang lain, terutama yang mendalami ilmu sufistik, hal ini sebagai sesuatu yang sangat wajar. Itulah karamah yang dimiliki oleh seorang kiayi.
Konon, beberapa bulan sebelum kematiannya, pak kiayi pernah bercerita, terutama pada menantunya, bahwa ia seringkali melihat orang-orang sedang ngaji dan baca shalawat di mushollanya atau kamarnya. Sering pula orang-orang yang asing di matanya duduk di ruang dalam rumahnya. Bahkan, sahabat-sahabat lamanya yang sudah meninggal dunia pada datang ke rumahnya dan bercengkerama dengan beliau. Beliau pun mengajak mereka ngobrol layaknya bicara kepada orang hidup. Anehnya, orang lain tak bisa menyaksikan peristiwa itu.
Menurut sang menantu, Saman, sepertinya hijab (penutup) antara pak kiayi dengan alam gaib telah disingkap oleh Allah menjelang kematiannya. Sehingga hal-hal gaib yang terjadi di alam lain bisa dilihat oleh pak kiayi.
Yang mengejutkan, pada malam hari sebelum kematiannya tetangga jauh melihat pak kiayi justru bersilaturrahmi ke rumahnya. Padahal, kenyataannya, pak kiayi sendiri berada di rumah sedang menerima beberapa tamu.
Wajahnya Tersenyum
Jum’at Kliwon, 2009 jam 10 pagi KH. Ali Hasan meninggal dunia di rumahnya. Awalnya, pak kiayi merasa tubuhnya lemas-lemas saat membuang hajat besar. Oleh sang istri, Hj. Fatimah, tubuh pak kiayi pun didudukkan di tempat shalat yang dekat dengan kamar kecil. Ketika itulah pak kiayi menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam posisi merebahkan diri ke lantai seperti orang yang hendak sujud.
Ketika sang ayah meninggal, si sulung Uswatun Hasanah (Uus) sedang berada di Bandung untuk menghadiri suatu acara. Ia pun diminta untuk pulang ke rumah karena ayahnya meninggal dan akan segera dikuburkan. Seketika itu juga ia meluncur balik ke rumah. Setelah sampai di rumah, jenazah pak kiayi sudah ada di musholla habis dimandikan dan hendak dishalatkan. Ia pun segera menghampiri tubuh ayahnya yang terbaring kaku dan telah berselimutkan kain kafan (mori).
Uus segera membuka kain kafan yang menutupi wajah ayahnya. Namun, betapa terkejutnya ia dan beberapa orang yang ada di situ karena ternyata wajah pak kiayi tampak sedang tersenyum. “Seperti wajah tertawa ketika ia sedang senang,” begitu kata Uus. Keadaan ini benar-benar mengejutkan. Bagaimana bisa wajah yang sebelumnya terlihat biasa-biasa saja, justru tampak tersenyum? Seolah ada Dzat yang menggerakkan bagian wajahnya untuk tersenyum. Dalam kajian ilmu sufistik, itulah yang dinamakan dengan kematian yang khusnul khatimah (baik).
Kuburan Melebar dan Sangat Wangi
Kuburan telah disiapkan. Di sini keanehan kembali terjadi. Menurut para saksi, kuburan yang sejatinya untuk jenazah pak kiayi itu tampak bagus sekali dan mengkilat seperti habis diminyaki. Padahal, sebelumnya hal ini jarang sekali terjadi. Seperti tanah lempung yang dielus-elus oleh tangan sehingga tampak mengkilat. Seolah itu sebuah tanda yang baik bahwa tanah pun ikut menyambut kedatangan lelaki saleh yang kelak akan tidur di situ.
Habis Ashar jenazah pak kiayi pun dibawa ke kuburan. Jarak dari rumah pak kiayi dengan kuburan tak begitu jauh, cukup ditempuh dengan jalan kaki. Gema shalawat mengiringi iring-iringan jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sangat banyak sekali para pelayat yang ikut mengantarkannya. Seolah mereka ikut merasakan kedukaan yang mendalam atas kepergian lelaki saleh tersebut.
Sejurus kemudian, jenazah pak kiayi pun sampai di kuburan. Segera jenazah pak kiayi dimasukkan ke dalam liang lahad. Namun, lagi-lagi, semua orang yang ada di situ kembali dibuat terkejut. Ternyata ukuran kuburan menjadi lebih lebar dari ukuran sebelumnya. Di bagian kepala lebih lebar ¼ meter dan bagian kaki ½ meter.
Setelah di-talqin jenazah pak kiayi pun diurug hingga benar-benar menutupi liang lahad. Usai itu, para pelayat kembali ke rumah masing-masing dengan menyisakan sejuta pertanyaan dan kekaguman yang tak pernah habis mereka simpan hingga kapanpun.
Karena kematian pak kiayi terjadi pada hari Jum’at Kliwon, maka habis Maghrib kuburan pak kiayi dijaga oleh beberapa orang. Sebab, ada sebuah tradisi di desa Dukuh Jeruk dan sekitarnya, jika kematian seseorang terjadi pada hari Jum’at Kliwon maka kemungkinan akan ada pencuri yang menggali kuburannya untuk mengambil tali pengikat mori (kain kafan) yang membungkus sang jenazah sebagai kesaktian atau pengayaan. Tidak mau hal itu terjadi, maka habis Maghrib, kuburan pak kiayi pun dijaga dalam rentang waktu seminggu.
Bapak Satori pun bertindak sebagai komandannya. Ditemani oleh beberapa orang, Satori menjaga kuburan pak kiayi dari jarak dekat. Mereka mengontrolnya dari musholla kuburan, yang memang ada di situ. Namun, tidak beberapa lama ada di situ, mereka mencium sesuatu yang baunya harum sekali. Awalnya, mereka mengira itu adalah bau bunga melati yang ada di sekitar kuburan. Namun, bau harum itu dirasakan berbeda. Setelah ditelusuri ternyata bau itu berasal dari kuburan. Satori dan kawan-kawannya dibuat semakin takjub atas kejadian ini. Kejadian itu terus berlangsung hingga hari ketujuh.
Amplop Jenazah
Satu lagi, kisah tersisa tentang pak kiayi sebagai penutup cerita ini. Konon, karena tidak mau memberatkan keluarga, sebelum kematiannya pak kiayi sudah menyiapkan puluhan amplop yang berisi uang lima ribuan di laci lemarinya. Entahlah, uang itu diperuntukkan untuk apa? Sebab, pak kiayi sendiri tidak bercerita pada keluarganya.
Yang jelas, malam hari sebelum kematiannya pak kiayi menyerahkan kunci lemarinya pada sang istri. Selama ini lemari itu memang dikunci dan dirahasiakan isinya. Namun, malam itu tiba-tiba pak kiayi menyerahkan kuncinya pada sang istri. Pak kiayi hanya berpesan, “Mah, ini kunci takut besok saya tidak ada lagi!”
Ternyata firasat itu benar. Besok harinya pak kiayi meninggal dunia. Sang istri pun membuka lemari rahasianya. Ternyata di laci lemari sudah berisi puluhan amplop yang isinya uang lima ribuan. Yang mengejutkan, ada beberapa lembar uang juga yang jumlahnya tidak sedikit. Konon, seperti yang tertulis di surat wasiatnya yang ditemukan di tempat yang sama, disebutkan bahwa amplop yang berisi uang itu diperuntukkan buat para takziah kelak dan uang satunya lagi diperuntukkan untuk keluarga yang ditinggalkan.
Kisah ini semakin menggenapkan akan kebaikan pak kiayi yang tidak mau memberatkan siapapun. Pantas saja, jika kematian lelaki yang pernah menjadi guru penulis itu pun begitu indah. Semoga hal ini bisa dijadikan pelajaran oleh kita semua yang masih hidup! Amien.
Eep Khunaefi/teks&foto
(Box)
HJ. FATIMAH, Istri
Saat itu saya sedang mimpin pengajian di tajug (musholla). Tiba-tiba ada yang memanggil-manggil saya, ternyata bapak. Dia minta dianter ke toilet untuk buang air besar. Saya pun menunda pengajian dan menganter bapak dulu ke toilet. Namun, saat di sana ia jatuh terduduk dan merasakan tubuhnya lemas-lemas.
Saya pun membawanya ke tempat shalat yang kebetulan dekat dengan toilet. Bapak duduk dan merunduk wajahnya. Saya suruh bapak untuk mengangkat, tapi dia merunduk lagi. Akhirnya, bapak merebahkan wajahnya di lantai dan di situlah bapak sudah tidak ada lagi.
SATORI, Penjaga Kuburan Pak Kiayi
Di desa kami ada anggapan kalau mayit yang sudah meninggal pada Jum’at Kliwon, maka kuburannya akan dijaga selama seminggu. Takut, tali bengket (pengikat) mayit dicuri orang untuk keperluan kejahatan.
Saya bersama beberapa teman pun menjaga kuburan pak kiayi, dimulai habis Maghrib sampai pagi. Malam, ketika pertama kali saya jaga, saya mencium bau yang harum sekali. Awalnya, saya pikir dari bunga melati. Ternyata, bau itu berasal dari arah yang lain, yaitu kuburan pak kiayi.
Langganan:
Postingan (Atom)