Tampilkan postingan dengan label Masjid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid. Tampilkan semua postingan

Rabu, Agustus 27, 2008

Masjid Fatkhus Sa'diyah; "MASJID HIJAU DI DESA JAMBU"

Dari warna cat yang membungkus masjid ini mengingatkan saya pada sebuah warna buah jambu yaitu hijau. Mengingat letaknya berada di daerah Jambu, Ambarawa, Semarang, saya pun mengait-ngaitkannya dengan nama desa tersebut. Namun, menurut Bapak Turmudi, keduanya tidak ada hubungannya sama sekali. “Tidak direncanakan, Mas. Itu hanya kebetulan semata,” ujarnya.

Dengan warna hijau jambu itu, masjid ini terlihat menyolok. Apalagi, di sebelah kanan masjid tidak ada bangunan karena masih berbentuk lapangan kosong yang direncanakan untuk dijadikan parkir, membuat masjid ini berdiri tampak gagah sendirian. Sedang di sebelah kirinya ada jalan yang menghubungkan ke sebuah dusun Santan, salah satu dusun tinggi di Ambarawa. Praktis, di sebelah kiri masjid itu pun banyak tukang ojek yang siap mengantarkan orang ke dusun itu. Sebab, mobil tidak bisa masuk ke sana karena jalannya yang kecil juga berbahaya karena berkelak-kelok.

Bagi musafir tidak ada salahnya mampir di masjid ini sekedar untuk istirahat atau beribadah. Apalagi, di depan masjid ada sebuah rumah makan “Kedoya” yang berisi makanan-makanan khas Jawa dan jualan-jualan yang lain (mie ayam, bakso, voucher dsb) membuat musafir tak perlu khawatir jika sewaktu-waktu perutnya lapar. Tinggal melangkah beberapa meter, Anda pun dipastikan bisa mendapatkannya. Harganya pun bisa terjangkau.

Masjid Fatkhus Sa’diyah, begitulah namanya. Masjid ini berdiri tahun 1976, yang saat itu pembangunannya diarsiteki oleh Bapak Mansur, Kepala Sekolah SMA Sudirman Ambarawa. Namun seiring berjalannya waktu, daya tahan masjid perlahan-lahan mulai rapuh. Di sana sini bangunannya sudah nampak usang. Jika dibiarkan terlalu lama bisa roboh dan membahayakan jamaah di dalamnya.

Tahun 2000, masjid dipugar total. Pada tahun yang sama, pembangunan masjid yang baru pun dilakukan dengan hanya modal (uang khas masjid) sebesar 7 juta. Dana sekecil ini tentu sangat kurang untuk membiayai pembangunan masjid yang direncanakan lebih modern dari sebelumnya. Karena itu, pengurus masjid pun mengerahkan panitia untuk bekerja keras mencari dana lewat swadaya masyarakat.

Di tengah mencari dana lewat swadaya masyarakat, datang bantuan dari seorang dermawan bangsa Dubai. Nilainya lumayan besar sekitar 70 juta. Dengan dana tambahan ini, pembangunan masjid pun mulai lancar. Sebagai penyandang dana terbesar, orang Dubai itu hanya berpesan agar arsitektur masjid tidak menyertakan tiang di ruang utama shalat. Karena itu, jika Anda datang ke masjid ini, dipastikan tidak akan melihat tiang-tiang di ruang utama shalat. Tiang-tiang itu justru banyak menyokong atap bagian depan masjid alias teras.

Selain itu, orang Dubai itu juga berpesan agar masjid tidak menyertakan bedug. Menurutnya, bedug adalah simbol tradisionalisme. Sementara masjid yang akan dibangunnya nanti adalah masjid modern. Jadi, cukup dengan speaker saja untuk memanggil orang shalat.

Selama proses pengerjaan, nyaris tidak ada halangan sama sekali. Dana pun mengalir lancar. Akhirnya, setelah satu tahun berjalan, masjid yang diarsiteki oleh Bapak Nuryadi, pemilik warung makan Kedoya ini pun bisa berdiri dengan menghabiskan biaya sebesar 250 juta. “Ini juga belum sempurna,” ujar Bapak Turmurdi. Hingga kini masjid belum menyediakan tempat parkir yang memadai. Selama ini tempat parkir hanya ada di depan masjid yang luasnya sekitar 2 meter. Jika ada mobil memarkir di sini saja, buntutnya bisa membahayakan kendaraan umum. Karena itu, tanah kosong milik H. Syamsuri yang ada di sebelah kanan masjid direncanakan untuk dijadikan tempat parkir.

“Kebetulan saat terjadi gempa di Jogya beliau pernah bilang kalau tanahnya hendak diwakafkan untuk pembangunan parkir masjid. Tetapi, kalaupun beliau berniat menjualnya, kami akan membelinya,” ujar Bapak Turmudi, yang rumahnya memang tidak jauh dengan Masjid Fatkhus Sa’diyah.

Menurut Bapak Turmudi, awalnya H. Syamsuri berniat ingin membangun masjid di pinggir jalan. Berhubung masjid itu sudah ada yaitu Masjid Fatkhus Sa’diyah yang sedang membutuhkan lahan kosong untuk tempat parkir, beliau akhirnya mengalihkan tujuannya dengan berniat mewakafkan tanah tersebut. “Mudah-mudahan rencana ini segera diwujudkan,” ujar Bapak Turmudi.

Peresmian Masjid Fatkhus Sa’diyah dilakukan pada tahun 2003 oleh Bapak Nuryanto, asisten II Bupati Semarang. “Tadinya, Pak Bupati direncanakan datang, tapi pada hari H-nya beliau tidak bisa datang. Akhirnya, asistennya yang meresmikan masjid ini,” ujar lelaki berkacamata ini.
Masjid Fatkhus Sa’diyah sendiri berdiri di atas tanah wakaf seluas 170 meter milik Ibu Sa’diyah. Karena itulah, masjid ini dinamakan dengan nama pemilik tanah tersebut, ditambahkan di depan yaitu Fatkhus (al-fath).

Konon, Ibu Sa’diyah memiliki tanah yang sangat luas pemberian koloni Belanda. “Beliau memiliki hubungan yang akrab (koorporatif) dengan Belanda. Jadi, ia banyak diberi tanah oleh Belanda,” ujar Bapak Turmudi. Sebagian wilayah desa Jambu, hampir dimiliki pribadi oleh Ibu Sa’diyah. Meski begitu, Ibu Sa’diyah termasuk orang yang dermawan, sehingga berkenan mewakafkan sebagian tanahnya untuk dijadikan masjid.

Hanya saja, masjid yang pembangunannya disaksikan sendiri oleh Ibu Sa’diyah akhirnya dipugar total untuk dibangun masjid yang baru dan lebih modern. Tetapi, untuk menghargai jasa-jasa almarhumah, namanya masih dijadikan sebagai nama masjid.

Masjid Fatkhus Sa’diyah sebenarnya tak terlalu besar. Tetapi, arsitekturnya yang modern dan posisinya yang berada di pinggir jalan menjadikannya sebagai masjid percontohan untuk pengadaan perpustakaan. Perpustakaan sendiri memang belum tersedia di masjid, tetapi hal ini sedang direncanakan pengadaannya. “Rencananya seluruh masjid di Ambarawa akan disediakan perpustakaan dan Masjid Fatkhus Sa’diyah menjadi percontohan yang pertama,” ujar Bapak Turmudi. Rencananya dalam waktu dekat, perpustakaan itu akan ada di masjid ini.

Selain itu, umumnya di daerah pegunungan, aliran air di masjid ini pun sangat bagus. Tetapi, kata Bapak Turmudi, sebelum masjid ini mendapatkan sumber mata air yang bagus yang kemudian dialirkan melalui kran-kran, justru dua kali pernah gagal saat melakukan penggalian sumber mata air. “Penggalian pertama airnya tidak ada. Sedang penggalian yang kedua ada airnya, tapi tak lama kemudian kering. Akhirnya, penggalian dilakukan lagi di tempat yang berbeda. Air pun akhirnya keluar dengan bagus dan bisa digunakan hingga sekarang,” ujar Bapak Turmudi.

Masjid ini tidak memiliki menara. Yang ada, hanyalah bangunan kecil seperti menara di sebelah kiri, agak ke depan dari batas bangunan masjid. Bagian atas digunakan untuk tempat tidur bagi muadzin atau pengurus masjid. Sedang bagian bawahnya didesain sebagai tempat wudhu atau toilet.

Pada tiap-tiap sudut di dalam masjid terdapat speaker, sehingga suara yang keluar dari alat-alat itu bisa didengar secara merata oleh jamaah yang sedang mendengarkan kultum, ceramah, kutbah Jum’at oleh seorang ustadz atau kiayi dan sebagainya.

Lalu ada dua kipas angin yang menggantung, mengapit dua kaki kubah di sebelah kiri dan kanan. Sementara lampu utama masjid didesain menggantung pada langit-langit kubah. Dan delapan lampu lainnya terpasang mengitari atap-atap ruang utama shalat.

Ruang shalat putri berada di sebelah kiri, mengambil kira-kira ¼ dari ruang utama shalat. Rak berisi al-Qur’an dan mukena juga tersedia di sini. Jadi, bagi musafir perempuan yang mampir untuk shalat dan tidak membawa mukena, tidak usah khawatir karena masjid telah menyediakannya. Untuk memudahkan asupan udara ke dalam ruangan, masjid sengaja didesain dengan sembilan jendela. Jumlah sembilan ini merujuk pada jumlah wali yang sembilan.

Ada dua pintu untuk masuk ke ruang utama shalat, di sebelah kiri dan kanan. Tetapi, sebelum Anda sampai ke pintu-pintu itu, Anda harus melalui tiang-tiang dulu yang berjejer banyak di teras, jumlahnya sekitar 10 buah. Uniknya, tempat air wudhu untuk pria dan wanita didesain berada di bawah menara. Dan saat Anda keluar dari kamar wudhu langsung disuguhkan rak sandal dan sepatu. Jadi, Anda tidak perlu melangkah beberapa meter lagi untuk menyimpan sepatu dan sandal.

Masjid Fatkhus Sa’diyah memang belum terlalu banyak menyelenggarakan kajian-kajian keagamaan. Sejauh ini, hanya pengajian usai Subuh oleh H. Jumadi dan pengajian pagi hari pada Minggu kliwon. Maklum, masjid ini posisinya jauh dari keramaian atau pusat pendidikan di Ambarawa. Masjid ini sepertinya sengaja didesain untuk musafir yang kebetulan lewat, bukan didesain sebagai lembaga kajian keagamaan.

Meski begitu, dengan keindahan warna hijau yang membungkus masjid, ia tampak indah dipandang. Insya Allah, kita pun akan dibuatnya selalu merasa nyaman berada di dalamnya. Amien. (Khunaefi/dimuat Hidayah edisi 86/Oktober/2008)

Minggu, Agustus 03, 2008

MASJID AL-MUJAHIDIN, "Saksi Sejarah Perjuangan Umat Islam Ambarawa"

Jika Anda menuju Jetis dari arah pasar Ambarawa, Anda dipastikan akan melihat sebuah masjid kokoh dan megah menghadap ke timur di samping kiri jalan. Keberadaan masjid ini menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam Ambarawa. Pasalnya, di sekitarnya terdapat banyak gereja dan lembaga pendidikan Kristiani. Selain itu, tempat dan seni arsitekturnya yang bernilai tinggi membuat masjid ini menjadi tempat yang “sejuk dan nyaman” untuk beribadah dan beristirahat.

Namanya Masjid al-Mujahidin. Dari segi leksikal (makna bahasa), al-Mujahidin berarti orang-orang yang sedang berjihad di jalan Allah. Nama ini tentu tidak begitu saja melekat pada masjid ini. Ada kesan “historis” di dalamnya. Ia menjadi saksi sejarah bagaimana umat Islam Ambarawa berjuang dengan gigih dan beraninya melawan penjajahan Belanda.

Masjid ini berdiri sekitar tahun 1700 masehi, 308 tahun yang lalu. Berarti usianya sudah 3 abad lebih. Masjid ini berdiri sebelum terjadi peperangan Pangeran Diponegoro yang sangat melegenda itu. Ia didirikan oleh KH. Tholahudin, seorang keturunan kerajaan Demak yang bernama Raden Trenggono.

“Menurut KH. Abdul Haq Watu Tongol dan KH. Muhaimin, KH. Tholahudin yang asli Demak itu merantau ke Ambarawa dalam rangka berdakwah. Tetapi, kondisi saat itu yang mencekam memaksanya untuk mengambil senjata melawan penjajah Belanda. Ia pun mendirikan masjid ini tidak saja sebagai sarana dakwahnya tapi juga sebagai basis perjuangan umat Islam kala itu,” ujar H. Muhammad Saleh, salah seorang pengurus Masjid al-Mujahidin.

Masjid ini juga menjadi saksi sejarah bagaimana seorang cendekiawan Muslim Indonesia terkenal dan mantan Menteri Agama era Presiden Soeharto, KH. Dr. Munawir Sadjali, MA., ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Konon, saat penjajah Belanda mengerahkan pasukannya ke Ambarawa untuk memporakporandakan negeri ini, Munawir muda ikut menenteng senjata melawan mereka. Munawir memulakan perjuangannya dari masjid ini.

“Bahkan, saat pesawat Belanda membombardir Ambarawa dari udara, Munawir sembunyi di bawah pohon sawo yang ada di belakang masjid dan beliau selamat. Hingga kini pohon sawo itu masih ada,” ujar H. Muhammad Soleh.

Konon, saat pesawat Belanda itu menembaki desa Ambarawa dari udara Masjid al-Mujahidin ini tidak terlihat dari atas. Dengan kekuasaan Allah, penjajah Belanda itu tidak sempat memporakporandakan masjid ini karena tak terpantau dari udara. Sehingga bom-bom udara pun hanya berjatuhan di sekitar masjid. Dan orang-orang yang bersembunyi di masjid pun selamat, termasuk Munawir Sadjali yang bersembunyi di bawah pohon sawo.

Sejak itulah, banyak umat Islam Ambarawa meyakini bahwa Masjid al-Mujahidin memiliki “daya magis” sendiri. Bagaimana tidak? Saat bangunan-bangunan di sekitarnya porak-poranda diluluhlantakan oleh pesawat udara penjajah Belanda, Masjid al-Mujahidin justru lepas dari pantauan, sehingga sedikit pun tak tergores oleh dahsyatnya bom-bom itu.

Jadi, Masjid al-Mujahidin benar-benar memiliki “nilai historis” yang sangat kuat bagi umat Islam Ambarawa. Ada beberapa hal untuk mendukung anggapan seperti ini. Pertama, ia menjadi tempat berdakwah dan berjuang umat Islam Ambarawa dan sekitarnya dalam mengusir penjajah Belanda seperti yang telah diungkapkan di atas. Kedua, ia menjadi satu-satunya masjid tertua di Ambawara –kalau bisa dikatakan sebagai salah satu masjid tertua di Semarang.
Dengan dua alasan di atas, Masjid al-Mujahidin pantas untuk selalu dilestarikan. Tidak saja bangunannya yang harus selalu dijaga, tapi juga perannya sebagai lokus spiritual: tempat beribadah, ngaji, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Namun, dalam perkembangannya, Masjid al-Mujahidin tak kuat melawan waktu. Waktu terus berjalan seperti tidak perduli, sementara bangunan masjid sudah terlihat kian renta. Di sana-sini, bangunan masjid baik tiang, dinding atau atapnya sudah mulai rapuh. Jika tidak diperbaiki bisa berbahaya buat jamaah di dalamnya. Karena itu, setelah renovasi terakhir pada tahun 1974, masjid ini pun dipugar total pada tahun 1991.

Dengan perombakan total itu otomatis kesan sejarah dari masjid ini ada yang hilang. Tetapi pilihan pahit ini harus diambil demi tujuan yang jauh lebih baik. Sebab, bangunan masjid itu sudah tidak layak lagi dipertahankan. Memaksakan diri untuk dipertahankan, sama saja memberikan “ruang berbahaya” bagi jamaah yang ada di dalamnya.

Maka diangkatlah KH. Drs. Harun Rasyidi sebagai ketua panitia pembangunan masjid. “Beliau memberikan dorongan kepada anak muda seperti saya untuk memugar masjid ini dan membangunnya kembali dengan yang lebih kokoh dan megah. Mumpung masih hidup dan diberi rejeki. Buat anak cucu kita,” ujar H. Muhammad Soleh.

Posisi strategis yang dimiliki oleh KH. Rasyidin kala itu membuatnya sangat dekat dengan Menteri Agama KH. Munawir Sadjali. Beliau pun lalu menyumbang 25 juta untuk kelancaran pembangunan masjid. Saat pergantian kabinet dan menteri agama diganti oleh Dr. H. Tarmidzi Taher, ia pun ikut menyumbang masjid ini seperti pendahulunya yaitu sebesar 100 juta. “Tetapi, sebagian besar dana pembangunan masjid dari swadaya masyarakat,” ujar H. Muhammad Soleh.

Setelah enam tahun berjalan, Masjid Al-Mujahidin yang megah dan kokoh pun selesai dibangun tahun 1997 dengan menghabiskan biaya sekitar 1 milyar min 300 ribu rupiah (Rp. 999.700.000,-). Lima tahun kemudian (tahun 2008), menyusul menara masjid setinggi 41 meter selesai dibangun.

Arsitektur masjid mengikuti pola campuran. Serambinya mengikuti tradisi Jawa berbentuk empat persegi panjang dengan beberapa tiang penyanggah sedang kubahnya berpolakan Madinah. “Yang jelas, tenaga kerja dan materi bangunannya dari Magelang semua,” ujar H. Muhammad Soleh.

Masjid yang semuanya terbuat dari kayu jati ini terdiri dari empat tiang utama (dari kayu jati) yang bentuknya lebih besar dibanding 14 tiang lainnya yang terbuat dari keramik warna putih. Masjid ini bertingkat dan masing-masing tingkat ada mimbarnya, di mana samping kanan dan kiri mimbar ada jam menempel di dinding.

Delapan kipas angin ikut mewarnai keindahan bagian dalam masjid, sehingga jamaah pun tidak kegerahan saat berada di dalam untuk shalat atau beristirahat. Untuk menuju tingkat atas, jamaah bisa menggunakan dua tangga yang mengapit kanan kiri masjid.

Jamaah juga dimudahkan dengan tempat air wudhu yang nyaman. Sekitar 12 kran air wudhu terpasang dan 5 tempat buang hajat kecil serta 3 toilet. Unsur tradisional dari masjid ini masih ditonjolkan dengan adanya kentongan dan bedug yang besar di dekat tempat air wudhu. Sayangnya, pada bagian kubah masjid yang indah ini tak terukir tulisan kaligrafi seperti yang biasa kita lihat pada masjid-masjid modern. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi sedikit pun kemegahan dan kekokohan masjid ini.

Masjid yang beralamatkan di Jl. Dr. Cipto Palagan Ambarawa ini memiliki kegiatan rutin setiap minggunya. Setiap Ahad pagi jam 05.30-,06.30 selalu diadakan kuliah. Setelah itu dilanjutkan dengan periksa kesehatan/UKM pada jam 06.30-07.30. Sedang Ahad sore (jam 15.30-17.00) diselenggarakan seni baca al-Qur’an.

Pada hari Senin (jam 15.00-17.00) diadakan pengajian tafsir al-Qur’an seperti Tafsir al-Maraghi dan Fathul Mu’in. Lalu setiap Ahad wage (jam 09.00-12.00) diadakan tahtimul qur’an (khatamal qur’an), mujahadah qubro dan pengajian.

Selain kegiatan-kegiatan spiritual, Masjid al-Mujahidin juga berkecimpung pada kegiatan sosial dengan mendirikan GOTA (Gerakan Oraang Tua Asuh). Selama ini gerakan ini masih berjalan dengan cukup baik.

Demikian Masjid Al-Mujahidin dengan segala peran spiritual dan sosialnya bagi umat Islam Ambarawa. Eksistensinya sebagai lokus perjuangan umat Islam Ambarawa pada masa penjajahan Belanda tak diragukan lagi. Semoga 100 tahun ke depan, seperti keinginan KH. Rasyidi saat masjid ini pertama kali dipugar total, masjid ini tetap berdiri kokoh –bahkan, ribuan tahun ke depan. Amien! (Eep K)