Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Rabu, Oktober 29, 2008

Kekuatan Sebuah Doa

KEKUATAAN SEBUAH DOA

Judul : Doa Harian Nabi & Keluarganya
Penulis : TIM Zahrah Publishing
Penerbit : Zahrah Publishing
Terbit : Cetakan 1, Rajab 1429 H/Juli 2008 M
Tebal : 300 halaman

Doa adalah “senjata spiritual” yang sangat ampuh. Doa merupakan perisai kaum mukmin dan sarana paling efektif untuk komunikasi antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Doa juga merupakan jalan pintas yang ditempuh seorang hamba untuk mendekatkan diri pada Khaliqnya. Bahkan diriwayatkan bahwa “doa adalah akal ibadah”. Demikian besarnya pengaruh doa terhadap kehidupan manusia baik untuk diri, keluarga dan lingkungannya, baik untuk kepentingan dunia maupun akherat.
Konon, air yang didoakan dengan yang tidak, memiliki pengaruh yang berbeda terhadap tanaman. Tanaman yang disiram dengan air yang didoakan akan memiliki daya tumbuh dan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan disiram dengan air yang tidak didoakan. Ini menunjukkan bahwa doa itu menyiratkan kekuatan yang luar biasa. Karena itu, berdoalah setiap hari, bahkan setiap saat.
Hanya saja, kita terkadang bingung doa yang apa yang kita pakai setiap hari. Enggak usah bingung, sebab dalam buku ini akan dipaparkan berbagai macam doa. Kita ingin diberikan rizki yang banyak, dalam buku ini ada doanya. Kita juga ingin ditenangkan hatinya oleh Allah, buku ini jawabannya. Pun, kita ingin tertolak dari segala macam bencana, buku ini memberi resep doanya.
Hal yang paling spektakuler bagi saya adalah buku ini mampu mengumpulkan doa-doa yang harus kita baca pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu dan Minggu. Ternyata, setiap hari ada doanya yang berbeda-beda. Doa-doa ini merupakan amalan yang sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw dan kerabatnya seperti Ali Zainal Abidin, anak dari Imam Husain dan sebagainya.
Buku ini disajikan secara sederhana dan sengaja diperuntukkan bukan untuk diperdebatkan secara ilmiah. Meski begitu, menariknya, setiap bab selalu disertai ulasan singkat. Misalnya, saat menjelaskan tentang bab doa menolak bencana, didahului oleh penjelasan mengenai manfaat doa ini bila kita baca setiap saat.
Diriwayatkan oleh Syekh Ibnu Fahd, pada suatu hari dia membawa kabar kepada Abu Darda bahwa api telah melalap rumahnya, lalu Abu Darda berkata, “Tidak mungkin rumah saya terbakar.” Lalu datang orang lain membawa kabar yang sama, namun dijawab oleh Abu Darda dengan jawaban yang sama, hingga terulang sampai 3 kali.
Abu Darda lalu pulang dan melihat rumahnya tidak terbakar sementara rumah-rumah di sekitarnya habis dilahap api. Orang-orang pun bertanya kepada Abu Darda, “Bagaimana Anda bisa tahu rumah Anda tidak terbakar?”
Abu Darda menjawab, “Barang siapa membaca doa ini di pagi hari, maka di hari itu dia tidak akan mendapatkan apa-apa yang tidak dia inginkan. Dan barang siapa membaca doa ini di malam hari, dia tidak akan mendapat apa-apa yang tidak dia inginkan di malam hari.”
Abu Darda melanjutkan, “Aku telah membaca doa tersebut pagi ini, karenanya aku mengetahui bawa rumahku tidak akan kena bencana hari ini.” Penasaran doanya seperti apa? Beli saja buku ini karena manfaatnya sangat besar buat kehidupan kita kelak! Amien.

Eep Khunaefi

Selasa, November 27, 2007

Haji Sebuah Pertunjukkan tentang Keesaan Manusia

Judul Asli : Hajj
Judul Terjemahan : Makna Haji
Penulis : Dr. Ali Syariati
Penerjemah : Burhan Wirasubrata
Penerbit : Zahra Publishing House
Terbit : Sya'ban 1428 H/September 2007 M, Cet.ke-8
Tebal : 260 halaman

Haji Sebuah Pertunjukkan tentang Keesaan Manusia

Manusia itu sangat ego dan sombong. Orang kaya merasa dirinya berkuasa sehingga leluasa menginjak orang miskin dan lemah. Pejabat merasa dirinya hebat dan super power sehingga seudele dewek menindas rakyat. Padahal, hakekatnya, manusia adalah sama di mata Allah. Tidak ada miskin dan kaya. Tidak ada rakyat dan penguasa. Tidak ada kulit putih itu lebih baik dibanding kulit hitam. Di mata Allah, semuanya sama. Allah hanya melihat manusia dari kualitas ibadahnya.

Kisi-kisi seperti inilah yang diusung dalam ibadah haji. Menurut Dr. Ali Syariati, ibadah haji adalah sebuah pertunjukkan tentang "penciptaan", "sejarah", "keesaan", "ideologi Islam", dan ummah. (hal.19)

Keesaan manusia sebagai makhluk Allah sangat kentara dalam ibadah haji. Mereka mengenakan pakaian ihram yang sama yakni berwarna putih dan polos. Dalam keadaan inilah, kita tidak pernah tahu apakah orang yang berada di depan kita adalah orang kaya? Apakah orang yang berjalan di samping kita adalah seorang pejabat? Apakah orang tua yang diusung dengan tandu adalah orang miskin? Semua orang di sana nyaris tak beridentitas, semuanya menjadi "esa". Mereka sedang berevolusi untuk menuju Allah.

Buku berjudul asli Hajj dan diterjemahkan menjadi “Makna Haji” ini merupakan ringkasan dari pengalaman dan pemahanan pribadi Dr. Ali Syariati setelah menunaikan ibadah haji tiga kali dan berkeliling kota Makkah satu kali. "Buku ini hanyalah komentar dan tafsiran tentang berbagai ritus haji oleh seorang hamba yang hina," tulis Ali Syariati.

Menurutnya, dengan buku ini ia mencoba menafsirkan ritus-ritus ibadah haji sebagai seorang Muslim yang sudah menunaikan ibadah haji dan berhak untuk berbicara tentang haji sepulang ke negerinya.

Perspektif Ali Syariati tentang haji sangat konstruktif dan inovatif. Salah satunya adalah ketika ia menyimbolkan ibadah haji seperti sebuah pertunjukkan (sandiwara). Dalam ibadah haji, Allah adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya adalah Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukkannya adalah Masjid al-Haram, daerah Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar dan Mina.

Sementara simbol-simbol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make-up-nya adalah ihram, Halgh dan Taqshir. Kita sendiri yakni orang yang berhaji adalah aktor-aktornya. Tidak perduli apakah kita seorang laki-laki atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih. Kita adalah aktor utama yang berperan sebagai Adam, Ibrahim, dan Hajar dalam konfrontasi antara “Allah dengan setan.”

Agar ibadah haji diterima Allah, menurut Ali Syariati, kita harus bisa melepaskan sifat-sifat serigala (lambang kekejaman dan penindasan), tikus (lambang kelicikan), rubah (lambang tipu daya), dan domba (lambang penghambaan). Unsur-unsur ini harus dihindari oleh orang berhaji. Sebab, “Hajj (orang berhaji) bisa menjadi teladan dalam kegelapan masyarakat, bagaikan sinar kemilau dalam kegelapan,” ujar Syariati.

Buku ini sangat bagus untuk dibaca, karena itu ia sampai delapan kali mengalami cetak ulang, di mana cetakan pertama adalah tahun 2001. Semoga kita bisa menjadi haji yang mabrur! Amien. (Eep Khunaefi)

Jumat, November 16, 2007

Meluruskan Penafsiran yang Bias Jender (Dimuat Kompas, 1 Oktober 2001)

Meluruskan Penafsiran yang Bias Jender

Judul: 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisisnya Penulis: Drs Muhammad Thalib Penyunting: Jarot, dkk. Penerbit: Irsyad Baitus Salam Terbit: Juni 2001 Tebal: 208 halaman

ADA sebuah pertanyaan menarik, mengapa kepemimpinan wanita selalu menjadi kontroversi? Padahal, sejak zaman dahulu telah banyak contoh yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara kaum hawa itu yang mampu menjadi pemimpin dan melakukan pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki, misalnya Ratu Bilqis (masa Nabi Sulaeman), Ummu Umarah dan Ummu Aiman (ikut perang Uhud bersama Rasulullah SAW, dan Aisyah (memimpin perang Jamal melawan tentara Ali ra), dan lain-lainnya.

Apakah hal itu merupakan kenyataan bahwa kebenaran sejarah selama ini dikonstruksi sedemikian rupa secara sepihak sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan, ketidakberpihakan, dan kesewenang-wenangan terhadap kaum wanita? Atau memang dalam teks-teks suci sendiri (Al Quran dan hadis) terdapat ayat-ayat yang secara tendensius melarang kaum wanita untuk menjadi pemimpin.

Hal-hal itulah yang akan dikupas habis dalam buku 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisisnya ini. Dengan menganalisa kembali ayat-ayat Al Quran dan hadis Nabi yang selama ini menjadi momok bagi wanita dalam kiprahnya di dunia politik (seperti QS 4: 34 dsb), Muhammad Thalib, pengarang buku ini, merekonstruksi ulang pemahaman yang dinilainya salah tentang teks-teks tersebut.

Ia kemudian membeberkan kelemahan-kelemahannya, dengan didukung alasan-alasan yang kuat dari kedua sumber hukum Islam tersebut, penjelasan para ulama tafsir, hadis, fikih, dan tarikh guna memahami setiap permasalahan dengan kaidah dan metode ilmiah islamiah yang valid.

Misalnya, tentang QS 4: 34, yang artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...". Untuk ayat ini Thalib menyalahkan penafsiran sebagian orang yang menyatakan bahwa ayat tersebut berarti pelarangan bagi kaum wanita untuk menjadi pemimpin, dan sebaliknya hanya laki-laki yang sah menjadi pemimpin. Menurut Thalib, ayat tersebut sebenarnya lebih cenderung mengenai soal kepemimpinan laki-laki atas perempuan berkaitan dengan masalah pemberian nafkah suami kepada istri dan keluarganya.

Hal itu, katanya, dapat dianalisis dengan adanya kata-kata bimaa anfaquu biamwaalihim yang terdapat dalam potongan ayat selanjutnya yang artinya "...karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...". Anak kalimat ini memberi makna bahwa ayat tersebut berhubungan khusus untuk masalah keluarga (laki-laki menafkahkan sebagian dari harta mereka); tidak melebar ke politik.

Islam, kata Thalib, memberikan hak-hak politik kepada kaum wanita (QS 42: 38), karena dalam ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah ini diajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai khalifah (QS 2: 30), setara martabat dan harkatnya (QS 40: 40, dan QS 4: 32), dan perempuan juga bertanggung jawab dalam membangun masyarakat, bukan hanya dalam keluarga (QS 9: 71).

Selanjutnya, menurut Thalib, seseorang yang melarang orang lain menjadi pemimpin berarti dia telah melanggar sunnah tabhi'iyah (hukum tetap penciptaan atau ketentuan paten yang berlaku universal) yang telah diciptakan Tuhan sesuai dengan kodrat-kodrat kemanusiaannya, seperti orangtua menuntut penghargaan dari anak, anak menuntut perlindungan dari orangtua, suami wajib mengayomi istri, hubungan kerabat menuntut kerukunan dan sikap tolong-menolong, dan pemimpin menuntut kepatuhan dari yang dipimpin. Di sinilah kepemimpinan itu dipahami sebagai hak setiap manusia yang bersifat universal; jika tidak dipatuhi, merupakan sebuah pelanggaran terhadap kodrat-kodrat kemanusiaan.

***

SEJARAH menunjukkan, sebagian besar di antara para mufasir Islam adalah laki-laki, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mujahid, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu al-Maraghi, dan sebagainya. Tetapi, juga pernah ada mufasir perempuan, itu pun muncul pada zaman belakangan yaitu Dr Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi') yang menelurkan al-Tafsir al-Bayani li al-Qur'an al-Karim.

Maka wajar jika sebagian orang menganggap bahwa tafsiran-tafsiran yang selama ini dihasilkan tendensi menyubordinasikan peran perempuan dalam politik. Parahnya, persoalan agama tersebut kemudian diadopsi oleh para politikus partisan kita sehingga mengakibatkan keputusan-keputusan politik yang diambil sering tendensi mengagungkan dunia patriarki. Padahal, apa yang diadopsi tersebut adalah hukum (syariat) Islam, yang dikonstruksi oleh para ahli tafsir dan fikih terdahulu, bukan Islam itu sendiri secara substantif. Konstruksi oleh para ahli itu kebenarannya senantiasa berubah-ubah sesuai perkembangan masa.

Dari kenyataan itulah, Budhy Munawar Rahman dari Paramadina, pernah mengatakan bahwa "syariat Islam (termasuk tafsir) adalah hukum yang digunakan umat Islam untuk menyelesaikan masalah sosial politik dalam kehidupannya. Dengan demikian, syariat Islam merupakan hasil kreativitas, atau hasil pemikiran, yang terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman". (Kompas, 3 September 2001)

Wacana tersebut pernah terjadi di Indonesia, salah satunya ketika terjadi bursa pencalonan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden pada tahun 1999, di mana hanya gara-gara para politikus kita pada saat itu sudah termakan oleh tafsir-tafsir yang bias jender tersebut, maka putri Bung Karno itu pun gagal menjadi nomor satu di negeri ini.

Ironisnya, dengan kasus yang sama, para politisi itu pun ketika bermaksud menjatuhkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggunakan dasar yang sama (agama), tetapi dengan logika yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu perempuan boleh menjadi pemimpin dan tidak ada ayat yang secara tegas melarang perempuan untuk menduduki posisi tersebut.
Dari sinilah semakin mempertegas keyakinan kita, bahwa hukum Islam merupakan produk manusia yang setiap saat dapat ditafsirkan berbeda-beda walaupun itu dalam kasus yang sama. Ayat yang sama bisa ditafsir berbeda-beda.

Selain karena penafsiran yang bias jender tersebut, Thalib melihat bahwa munculnya isu-isu pelarangan wanita menjadi pemimpin sebenarnya merupakan hasil propaganda dari orang-orang Barat, yang berhasil ditanamkan di sini.

Itulah beberapa faktor mengapa perempuan dibolehkan atau dilarang menjadi pemimpin, yang oleh Thalib diramu dalam 17 alasan yang secara substantif sudah dijelaskan di atas.
(Khunaefi, mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta )