Rabu, Agustus 27, 2008

Kubur yang Terbakar

“Dan janganlah seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (WS. Al-Hasyr: 19)

Kisah manusia di dunia ini memang ragam bentuknya. Yang jelas, dari seluruh kisah itu pasti ada nilai baik dan buruknya. Salah satunya kisah berikut ini. Kisah ini terjadi di daerah Jawa tentang seorang pengangguran yang suka menghasut orang. Akhir kisahnya pun bisa kita tebak. Ia meninggal dengan kondisi yang memprihatinkan. Yang lebih miris lagi, kuburannya mengeluarkan api selama berjam-jam. Untuk menjaga citra baik keluarga, semua nama pelaku dan tempat dalam kisah ini sengaja kami samarkan. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini! Amien.

Sebut saja namanya Kendil. Dari tampangnya ia seperti perpaduan antara Maradona karena tubuhnya yang pendek dan Andi Mallarangeng karena ia berkumis. Agak gagah memang. Kondisi inilah yang membuat Karsem kepincut hati pada sosoknya. Gak mau berlarut-larut pacaran, mereka pun sepakat mengikat janji dalam suatu ikatan perkawinan.

Impian besar akan terbentuknya keluarga sakinah pun terpampang di depan Karsem yang lumayan cantik ini. Satu-persatu impian itu mulai tumbuh ketika seorang anak laki-laki buah perkawinannya lahir ke dunia. Apalagi, setelah tahu bahwa anak yang kemudian diberi nama Jalil itu berkulit kuning, imut, dan gagah. Kesenangan pun semakin mewarnai kehidupan Kendil dan Karsem setiap harinya.

Sebagai laki-laki, Kendil ingin menunjukkan dirinya sebagai bapak dan suami yang bertanggung jawab di depan Karsem. Sejak Jalil lahir, ia pun mulai mengojek. Motor hasil pemberian kedua orang tuanya pun dijadikan “budak”nya untuk mencari sesuap nasi.

Sebagai istri, Karsem tentu merasa senang akan perubahan yang terjadi pada Kendil. “Anak membawa rejeki,” seperti kata agama ternyata memang benar. Kehadiran Jalil ternyata telah mengusik kedewasaan Kendil sebagai seorang laki-laki. Ia yang dulunya nganggur, tiba-tiba berubah menjadi seorang tukang ojek. Kerja rendahan memang, tapi ini sudah cukup membuat Karsem bangga. Setidaknya, setiap hari Karsem masih ada harapan untuk menerima lima ribu atau sepuluh ribu rupiah dari hasil kerja keras suaminya.

Jalil pun tumbuh dengan baik. Asupan asi yang baik dari sang ibu ditambah bubur bergizi yang setiap saat dimakannya, membuat tubuh Jalil cepat besar. Seiring dengan itu, Kendil pun tampak semakin terlihat rajin mencari uang dengan ojekannya. Apalagi, setelah beberapa tahun kemudian anak kedua lahir dan berturut-turut anak ketiga dan keempat lahir, Karsem pun tampak semakin bahagia. Rencana membina Keluarga Berencana (KB) dengan dua anak memang gagal, tapi hal itu tetap membuatnya sangat bahagia.

Hari demi hari Kendil dan Karsem serta keempat anaknya mengarungi hidup ini penuh kebahagiaan sebelum kemudian sesuatu terjadi pada Kendil. Kendil ternyata dililit hutang yang cukup banyak. Rupanya selama mengojek, ia kerapkali berjudi dengan teman-teman seprofesinya. Selama judi itulah ia kerapkali kalah, sementara kegiatan haram ini tak bisa ditinggalkannya. Ia pun berhutang ke sana-kemari hanya untuk bisa berjudi. Hebatnya, uang hasil ojekannya selalu bisa ia simpan lalu diberikan kepada istri dan anak-anaknya. Sehingga selama itu Karsem pun tak pernah menyadari kalau suaminya itu punya banyak hutang di luar.

Puncaknya, untuk menutupi hutang-hutangnya Kendil terpaksa menjual motornya. “Mungkin rejeki saya bukan di sini, Mah,” ujar Kendil beralasan kala itu. Karsem sendiri saat mendengar suaminya punya hutang banyak sangat murka. Bagaimana tidak? Ternyata selama ini suaminya memberikan kebahagiaan semu kepadanya dan anak-anaknya. Kembali dari mengojek selalu membawa uang, ternyata di luar sebenarnya punya banyak hutang. Ini sama saja membunuh dirinya secara perlahan-lahan.

Tapi, Karsem memaafkan ulah Kendil dengan harapan suaminya itu mau berubah. Apalagi, Kendil pernah berucap, “Mungkin rejeki saya bukan di sini.” Maksudnya, mungkin rejeki suaminya bukan dari ojek lagi, tapi di luar. Karsem pun percaya bahwa sang arjunanya pasti bisa mendapatkan pekerjaan baik setelah tidak mengojek lagi karena motornya dijual. Apalagi ia punya anak empat, pasti suaminya itu akan bertanggung jawab. Meski bukan buat dirinya, setidaknya buat anak-anaknya.

Satu hingga dua bulan Karsem menunggu aksi Kendil selanjutnya. Ternyata keadaan tidak berubah. Kendil masih saja menganggur, sementara keadaan anak-anak sudah semakin besar. Kendil yang tak punya keterampilan dan hanya lulusan SD ini pun sulit mencari pekerjaan selain mengojek, apalagi berharap punya kerja kantoran.

Ironinya, Kendil seperti merasa tidak bersalah. Ketidakberdayaannya untuk bisa menghidupi istri dan anak-anaknya ditanggapinya sebagai takdir Tuhan. Sebuah pemahaman yang salah. Tuhan sendiri tidak pernah mau merubah nasib umatnya jika mereka sendiri tidak pernah mau merubahnya. Kendil tidak pernah menyadari akan hal ini. Dan Kaserm, sebagai istri, pun berkali-kali mengingatkan dan menyadarkannya agar lebih bertanggung jawab kepada dirinya dan anak-anaknya.

Dasar pemalas, mau diapa-apakan juga susah! Kendil semakin terbuai dengan penganggurannya. Apalagi, setelah ia menyadari bahwa kedua anaknya, Jalil dan Dahliah, telah bekerja dan sebagian hasil kerjanya diberikan buat kedua orang tuanya. Kendil pun semakin dibuatnya terbuai dengan ketidakberdayaannya itu.

Usia kendil masih muda sekitar 45 tahun. Jadi, tak ada alasan baginya untuk tidak bekerja, meski kedua anaknya telah mandiri. Sebab, ia masih punya dua anak lagi yang sedang duduk di kelas SD dan TK. Mereka berdua masih butuh kasih sayang bapak dan ibunya. Tanpa memiliki uang yang cukup, bagaimana Kendil bisa memenuhi kasih sayangnya sebagai orang tua?
Keadaan seperti ini diperparah oleh sikap Kendil yang suka menghasut tetangganya. Sudah miskin penghasilan, miskin hati pula. Begitulah keadaan Kendil yang sebenarnya!
Ketidakberdayaan untuk mencari pekerjaan, ternyata membuat pikiran Kendil tertutup pada kebaikan. Ia hanya bisa iri pada tetangga-tetangganya yang sukses dengan penghasilan yang memadai.

“Ia suka mengatakan yang A dengan B dan yang B dengan A,” ujar Nadim, tetangga Kendil.
Begitulah yang dilakukan Kendil setiap hari. Sebagai istri, Karsem kerapkali mengingatkan suaminya agar jangan berpikir macem-macem pada orang lain karena tidak baik menurut agama. Sudah terbukti saja tidak baik menceritakan aib orang lain, apalagi hal itu belum terbukti sama sekali. Setiap kali diingatkan, Kendil malah membela diri, “Benar kok Ma, dia itu pencari pesugihan! Banyak orang yang sudah tahu tentang dia.”

Orang yang dimaksudkan Kendil adalah Bapak Herman, seorang pekerja kantoran. Herman pernah menegur Kendil saat ia ketangkap main judi. Sebagai tetangga, Herman pantas melakukannya karena ia merasa kasihan hal tidak baik itu jika terus dikerjakan oleh Kendil. Tetapi, Kendil merasa tersinggung dan sakit hati dengan teguran Herman dan hal itu tak pernah dilupakannya. Yang bisa dilakukan oleh Kendil setelah ia tidak berdaya pun hanya menghasut dan memfitnah Bapak Herman sebagai pencari pesugihan. Padahal, ia pekerja kantoran yang memiliki bisnis sampingan di luar. Jadi, pantas saja jika Bapak Herman memiliki kekayaan lebih dibandingkan Kendil.

Tidak saja kepada Bapak Herman, Kendil pun kerapkali menghasut tetangga-tetangganya yang lain. Tidak saja kepada orang yang pernah punya urusan dengannya, kepada orang yang tidak bersalah sama sekali pun terkadang menjadi korban fitnahnya. “Begitulah yang selalu dilakukannya setiap hari!” ujar Nadim, yang tahu betul dengan sosok Kendil ini.

Tapi, dari semua perbuatan keji Kendil itu, ada satu sikapnya yang membuat seseorang hampir menjadi korban. Yaitu, saat Kendil menghasut tetangga jauhnya yang bernama Bapak Solihin sebagai dukun santet. Singkat cerita, Kendil jatuh terkulai karena sakit. Pada sebagian wajahnya dipenuhi bentol-bentol, yang dirasakannya cukup gatal. Ia menuduh semua ini dikarenakan ulah Bapak Solihin yang telah menyantetnya.

Kepada Bapak Karim yang menengoknya di rumah, Kendil bercerita demikian. Karim yang mudah terhasut pun sempat mengumpulkan beberapa orang untuk mendatangi rumah Bapak Solihin dan hendak menggadangnya ke luar rumah lalu dipermalukan. Untungnya keadaan ini cepat diantisipasi oleh tetangga Bapak Solihin yang lain. Lalu dijelaskan kondisi yang sebenarnya. Dari sinilah, Karim dan yang lainnya menyadari kesalahannya bahwa Bapak Solihin bukanlah dukun santet. Ia memang bisa mengobati orang yang sedang sakit, tapi bukanlah seorang dukun santet yang mengguna-gunai orang.

Sejak peristiwa itu, Karim sendiri akhirnya berpikir terbalik pada sahabatnya, Kendil. Ia menjadi benci padanya karena dirinya hampir saja menjadi korban hasutannya untuk melakukan satu kesalahan terbesar dalam hidupnya yaitu mengeroyok dukun santet yang sebenarnya hanyalah orang biasa. Kini, Kendil benar-benar apes. Sudah tidak berdaya, ditinggalkan lagi oleh teman-teman karibnya. Ibarat kata, “sudah jatuh ketimpa tangga pula.”

Setelah menahan sakit bertahun-tahun, akhirnya Kendil meninggal dunia dalam usia 50 tahun. Tak banyak yang menangisi kepergian Kendil, kecuali istri, anak-anak dan keluarganya. Tak berapa lama, jenazah Kendil yang kaku pun dikuburkan.

Tidak ada peristiwa aneh mengiringi kepergian Kendil ke alam baka. Yang ada hanyalah iring-iringan orang disertai gema shalawat Nabi yang selalu terucap dari bibir pengantar jenazah. Begitu juga saat jenazah Kendil dimasukkan ke alam kubur, nyaris tak ada keanehan menyertainya. Yang ada hanyalah isak tangis sanak keluarga melepas kepergian orang yang pernah menjadi bagian penting dari hidup mereka itu.

Usai jenazah Kendil dikuburkan, orang-orang pun pulang ke rumah masing-masing seperti biasa. Hal itu terus berlangsung hingga menjelang Maghrib dan Isya. Bahkan, hingga jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, hal yang mengusik ketenangan warga pun belum terjadi sama sekali.

Pada jam 22.00 WIB, tiba-tiba seseorang lari terbirit-birit dengan keadaan peluh mendatangi rumah seorang modin (penghulu) dan mengaku kalau ia baru saja melihat kuburan Kendil terbakar. Katanya, seluruh kuburan Kendil dari ujung ke pangkal terbakar setinggi setengah meter. Modin itu tidak langsung percaya dengan laporan orang itu. “Bapak lalu mengajak saya untuk melihat kejadian itu,” ujar Nadim yang tidak lain anak modin sendiri.

Sampai di kuburan betapa kagetnya pak modin dan Nadim melihat kejadian dahsyat di luar nalar manusia tersebut. Sebuah kuburan yang baru saja tadi siang dibuat, kini dalam kondisi mengenaskan karena dilahap oleh api yang ganas. Spontan mereka berdua pun mengucapkan subhanalllah, tanda takjub luar biasa. Nadim lalu pulang ke rumah Kendil untuk mengabarkan hal ini. Kepada kakaknya, Nadim pun bercerita mengenai hal dahsyat yang baru saja dilihatnya. Kakak Kendil sempat tidak percaya dan segera ia memanggil teman-temannya untuk melihat kejadian itu.

Dalam waktu singkat, sekitar kuburan Kendil pun ramai dijejaki orang yang ingin melihat kejadian yang mungkin pertama kali dilihat oleh mereka itu. Sementara keluarga besar Kendil sudah pada kumpul dan melihat hal aneh itu penuh dengan isak dan tangis. Mereka tidak percaya jika jenazah salah seorang kerabatnya harus tertimpa masalah sedahsyat itu. Mungkinkah itu adalah siksa Malaikat Munkar-Nakir buat Kendil di alam kubur? Wallahu a’lam bilshawab.

Modin langsung berdoa agar api itu padam. Tapi, tetap saja si jago merah terus melahap kuburan Kendil. Hal itu terus berlangsung hingga pukul 02.00 WIB (pagi). Keadaan pun makin panik. Isak tangis keluarga Kendil masih mewarnai keadaan saat itu. Semuanya dibuat ketar-ketir. Tidak percaya dan mustahil sama sekali. Mereka tidak tahu berbuat apa. Ada usaha untuk menyiramnya dengan air tapi cepat dicegahnya karena ini adalah persoalan metafisika, bukan masalah fisik. Jadi, cara menghentikannya harus dengan doa oleh seseorang yang memiliki kekuatan spiritual luar biasa.

Seseorang lalu pergi memanggil seorang kiayi yang cukup terpandang dan memiliki kedalaman spiritual yang bagus. Tak lama kemudian kiayi itu datang dan segera bertindak. Sebelumnya Pak Kiayi meminta kepada orang-orang yang hadir untuk turut berdoa bersama agar api ini cepat padam. Maka pak kiayi itu pun berdoa dengan diikuti oleh warga. Seketika api itu pun perlahan-lahan padam. Subhanallah!

Usai api itu padam kepada warga yang hadir, Pak Kiayi pun berpesan, “Hendaklah kejadian ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa siksa Tuhan itu benar-benar nyata bagi hamba-hamba-Nya yang tidak beriman. Kita berdoa bersama-sama semoga siksa yang menimpa kerabat kita ini yaitu Kendil, diringankan oleh Allah SWT. Amien!”

Kepada sanak keluarga Kendil, Pak kiayi itu pun berpesan agar tabah menghadapi peristiwa ini. Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Jangan terlalu larut dalam kesedihan untuk memikirkannya karena justru efeknya tidak baik buat masa depan. “Anggap saja ini sebagai peringatan bagi sanak dan keluarga yang ditinggalkannya,” ujar Pak Kiayi sekali lagi.

Usai berpesan, Pak Kiayi meminta warga untuk pulang ke rumah masing-masing karena masih ada pekerjaan yang diharus dilakukannya besok hari. Seorang petani harus pergi ke sawah dan ladangnya. Seorang tukang ojek harus pergi mengojek dan seorang kantoran harus pergi ke kantornya.

Pagi mencekam itu pun lewat berganti pagi yang cerah. Matahari pagi hari menyinari desa X di Jawa, di mana Kendil tinggal. Kisah kuburan Kendil terbakar ini pun secepat kilat menjadi berita hangat dalam beberapa minggu. Usai kejadian itu, tidak sedikit warga yang bertaubat. Masjid dan mushola mulai terisi banyak oleh jamaah.

Bagaimana dengan Karsem dan anak-anaknya sendiri? Usai kejadian itu, mereka pun tampak semakin soleh dan solehah. Mereka kerapkali terlihat rajin pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Subhanallah! Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Percayalah pada ketentuan Tuhan yang satu ini! Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Amien. (Eep Khunaefi/Dimuat di Hidayah edisi 85/September 2008)

Tidak ada komentar: