Jika Anda menuju Jetis dari arah pasar Ambarawa, Anda dipastikan akan melihat sebuah masjid kokoh dan megah menghadap ke timur di samping kiri jalan. Keberadaan masjid ini menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi umat Islam Ambarawa. Pasalnya, di sekitarnya terdapat banyak gereja dan lembaga pendidikan Kristiani. Selain itu, tempat dan seni arsitekturnya yang bernilai tinggi membuat masjid ini menjadi tempat yang “sejuk dan nyaman” untuk beribadah dan beristirahat.
Namanya Masjid al-Mujahidin. Dari segi leksikal (makna bahasa), al-Mujahidin berarti orang-orang yang sedang berjihad di jalan Allah. Nama ini tentu tidak begitu saja melekat pada masjid ini. Ada kesan “historis” di dalamnya. Ia menjadi saksi sejarah bagaimana umat Islam Ambarawa berjuang dengan gigih dan beraninya melawan penjajahan Belanda.
Masjid ini berdiri sekitar tahun 1700 masehi, 308 tahun yang lalu. Berarti usianya sudah 3 abad lebih. Masjid ini berdiri sebelum terjadi peperangan Pangeran Diponegoro yang sangat melegenda itu. Ia didirikan oleh KH. Tholahudin, seorang keturunan kerajaan Demak yang bernama Raden Trenggono.
“Menurut KH. Abdul Haq Watu Tongol dan KH. Muhaimin, KH. Tholahudin yang asli Demak itu merantau ke Ambarawa dalam rangka berdakwah. Tetapi, kondisi saat itu yang mencekam memaksanya untuk mengambil senjata melawan penjajah Belanda. Ia pun mendirikan masjid ini tidak saja sebagai sarana dakwahnya tapi juga sebagai basis perjuangan umat Islam kala itu,” ujar H. Muhammad Saleh, salah seorang pengurus Masjid al-Mujahidin.
Masjid ini juga menjadi saksi sejarah bagaimana seorang cendekiawan Muslim Indonesia terkenal dan mantan Menteri Agama era Presiden Soeharto, KH. Dr. Munawir Sadjali, MA., ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Konon, saat penjajah Belanda mengerahkan pasukannya ke Ambarawa untuk memporakporandakan negeri ini, Munawir muda ikut menenteng senjata melawan mereka. Munawir memulakan perjuangannya dari masjid ini.
“Bahkan, saat pesawat Belanda membombardir Ambarawa dari udara, Munawir sembunyi di bawah pohon sawo yang ada di belakang masjid dan beliau selamat. Hingga kini pohon sawo itu masih ada,” ujar H. Muhammad Soleh.
Konon, saat pesawat Belanda itu menembaki desa Ambarawa dari udara Masjid al-Mujahidin ini tidak terlihat dari atas. Dengan kekuasaan Allah, penjajah Belanda itu tidak sempat memporakporandakan masjid ini karena tak terpantau dari udara. Sehingga bom-bom udara pun hanya berjatuhan di sekitar masjid. Dan orang-orang yang bersembunyi di masjid pun selamat, termasuk Munawir Sadjali yang bersembunyi di bawah pohon sawo.
Sejak itulah, banyak umat Islam Ambarawa meyakini bahwa Masjid al-Mujahidin memiliki “daya magis” sendiri. Bagaimana tidak? Saat bangunan-bangunan di sekitarnya porak-poranda diluluhlantakan oleh pesawat udara penjajah Belanda, Masjid al-Mujahidin justru lepas dari pantauan, sehingga sedikit pun tak tergores oleh dahsyatnya bom-bom itu.
Jadi, Masjid al-Mujahidin benar-benar memiliki “nilai historis” yang sangat kuat bagi umat Islam Ambarawa. Ada beberapa hal untuk mendukung anggapan seperti ini. Pertama, ia menjadi tempat berdakwah dan berjuang umat Islam Ambarawa dan sekitarnya dalam mengusir penjajah Belanda seperti yang telah diungkapkan di atas. Kedua, ia menjadi satu-satunya masjid tertua di Ambawara –kalau bisa dikatakan sebagai salah satu masjid tertua di Semarang.
Dengan dua alasan di atas, Masjid al-Mujahidin pantas untuk selalu dilestarikan. Tidak saja bangunannya yang harus selalu dijaga, tapi juga perannya sebagai lokus spiritual: tempat beribadah, ngaji, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Namun, dalam perkembangannya, Masjid al-Mujahidin tak kuat melawan waktu. Waktu terus berjalan seperti tidak perduli, sementara bangunan masjid sudah terlihat kian renta. Di sana-sini, bangunan masjid baik tiang, dinding atau atapnya sudah mulai rapuh. Jika tidak diperbaiki bisa berbahaya buat jamaah di dalamnya. Karena itu, setelah renovasi terakhir pada tahun 1974, masjid ini pun dipugar total pada tahun 1991.
Dengan perombakan total itu otomatis kesan sejarah dari masjid ini ada yang hilang. Tetapi pilihan pahit ini harus diambil demi tujuan yang jauh lebih baik. Sebab, bangunan masjid itu sudah tidak layak lagi dipertahankan. Memaksakan diri untuk dipertahankan, sama saja memberikan “ruang berbahaya” bagi jamaah yang ada di dalamnya.
Maka diangkatlah KH. Drs. Harun Rasyidi sebagai ketua panitia pembangunan masjid. “Beliau memberikan dorongan kepada anak muda seperti saya untuk memugar masjid ini dan membangunnya kembali dengan yang lebih kokoh dan megah. Mumpung masih hidup dan diberi rejeki. Buat anak cucu kita,” ujar H. Muhammad Soleh.
Posisi strategis yang dimiliki oleh KH. Rasyidin kala itu membuatnya sangat dekat dengan Menteri Agama KH. Munawir Sadjali. Beliau pun lalu menyumbang 25 juta untuk kelancaran pembangunan masjid. Saat pergantian kabinet dan menteri agama diganti oleh Dr. H. Tarmidzi Taher, ia pun ikut menyumbang masjid ini seperti pendahulunya yaitu sebesar 100 juta. “Tetapi, sebagian besar dana pembangunan masjid dari swadaya masyarakat,” ujar H. Muhammad Soleh.
Setelah enam tahun berjalan, Masjid Al-Mujahidin yang megah dan kokoh pun selesai dibangun tahun 1997 dengan menghabiskan biaya sekitar 1 milyar min 300 ribu rupiah (Rp. 999.700.000,-). Lima tahun kemudian (tahun 2008), menyusul menara masjid setinggi 41 meter selesai dibangun.
Arsitektur masjid mengikuti pola campuran. Serambinya mengikuti tradisi Jawa berbentuk empat persegi panjang dengan beberapa tiang penyanggah sedang kubahnya berpolakan Madinah. “Yang jelas, tenaga kerja dan materi bangunannya dari Magelang semua,” ujar H. Muhammad Soleh.
Masjid yang semuanya terbuat dari kayu jati ini terdiri dari empat tiang utama (dari kayu jati) yang bentuknya lebih besar dibanding 14 tiang lainnya yang terbuat dari keramik warna putih. Masjid ini bertingkat dan masing-masing tingkat ada mimbarnya, di mana samping kanan dan kiri mimbar ada jam menempel di dinding.
Delapan kipas angin ikut mewarnai keindahan bagian dalam masjid, sehingga jamaah pun tidak kegerahan saat berada di dalam untuk shalat atau beristirahat. Untuk menuju tingkat atas, jamaah bisa menggunakan dua tangga yang mengapit kanan kiri masjid.
Jamaah juga dimudahkan dengan tempat air wudhu yang nyaman. Sekitar 12 kran air wudhu terpasang dan 5 tempat buang hajat kecil serta 3 toilet. Unsur tradisional dari masjid ini masih ditonjolkan dengan adanya kentongan dan bedug yang besar di dekat tempat air wudhu. Sayangnya, pada bagian kubah masjid yang indah ini tak terukir tulisan kaligrafi seperti yang biasa kita lihat pada masjid-masjid modern. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi sedikit pun kemegahan dan kekokohan masjid ini.
Masjid yang beralamatkan di Jl. Dr. Cipto Palagan Ambarawa ini memiliki kegiatan rutin setiap minggunya. Setiap Ahad pagi jam 05.30-,06.30 selalu diadakan kuliah. Setelah itu dilanjutkan dengan periksa kesehatan/UKM pada jam 06.30-07.30. Sedang Ahad sore (jam 15.30-17.00) diselenggarakan seni baca al-Qur’an.
Pada hari Senin (jam 15.00-17.00) diadakan pengajian tafsir al-Qur’an seperti Tafsir al-Maraghi dan Fathul Mu’in. Lalu setiap Ahad wage (jam 09.00-12.00) diadakan tahtimul qur’an (khatamal qur’an), mujahadah qubro dan pengajian.
Selain kegiatan-kegiatan spiritual, Masjid al-Mujahidin juga berkecimpung pada kegiatan sosial dengan mendirikan GOTA (Gerakan Oraang Tua Asuh). Selama ini gerakan ini masih berjalan dengan cukup baik.
Demikian Masjid Al-Mujahidin dengan segala peran spiritual dan sosialnya bagi umat Islam Ambarawa. Eksistensinya sebagai lokus perjuangan umat Islam Ambarawa pada masa penjajahan Belanda tak diragukan lagi. Semoga 100 tahun ke depan, seperti keinginan KH. Rasyidi saat masjid ini pertama kali dipugar total, masjid ini tetap berdiri kokoh –bahkan, ribuan tahun ke depan. Amien! (Eep K)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar