MENDAPAT HIDAYAH LEWAT SANG ANAK
“Aku sempat membenci ayah karena ia sebagai bandar judi. Tapi, aku menjadi sayang kepada ayah ketika ia mengajak istri dan anak-anaknya shalat berjamaah. Setelah kusadari ternyata ayah telah berubah. Peristiwa ketika aku dan adik-adikku membaca al-Qur’an kemudian ayah mendengarnya, tak kusangka ternyata telah merubah sikapnya pada Tuhan. Aku pun semakin bangga padanya, setelah aku melihat ayah meninggal dalam keadaan yang baik.”
Beberapa kalimat meluncur dari bibir Puspita. Sebagai anak, ia tak kuasa mengeluarkan kata-kata makian sekaligus pujian pada sang ayah tercinta, yang kini telah meninggalkan dirinya ke alam baka.
“Aku sempat membenci ayah karena ia sebagai bandar judi. Tapi, aku menjadi sayang kepada ayah ketika ia mengajak istri dan anak-anaknya shalat berjamaah. Setelah kusadari ternyata ayah telah berubah. Peristiwa ketika aku dan adik-adikku membaca al-Qur’an kemudian ayah mendengarnya, tak kusangka ternyata telah merubah sikapnya pada Tuhan. Aku pun semakin bangga padanya, setelah aku melihat ayah meninggal dalam keadaan yang baik.”
Beberapa kalimat meluncur dari bibir Puspita. Sebagai anak, ia tak kuasa mengeluarkan kata-kata makian sekaligus pujian pada sang ayah tercinta, yang kini telah meninggalkan dirinya ke alam baka.
Sang ayah, Pak Miherdi, adalah seorang bandar judi terkenal di desanya. Dengan bisnis haram yang digelutinya ini, ia tumbuh menjadi seorang bandar yang kaya raya. Rumah cukup mewah dan harta banyak. Apapun bisa diwujudkan. Ingin membeli pakaian baru dengan merk terkenal dapat dilakukan. Mau membeli sepatu trendy merk luar negeri juga tidak sulit. Apapun tidak ada yang sulit bagi Pak Miherdi, istri dan anak-anaknya.
Pak Miherdi dilahirkan dari keluarga kaya. Ia kemudian menikah dengan Bu Miherdi yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Perkawinan ini tidak direstui oleh keluarga Pak Miherdi karena perbedaan status yang mencolok. Mereka pun lari ke perantauan untuk nekad menikah.
Lima tahun kemudian mereka kembali ke kampung halamannya dengan membawa dua orang anak hasil perkawinan mereka. Mereka kembali untuk meminta maaf pada kedua orang tua masing-masing yang telah berbuat salah karena nekad untuk menikah meski dilarang. Setelah mendapat restu dan maaf dari orang tua, Pak Miherdi mengajak istri dan anak-anaknya tinggal di rumah orang tuanya.
Sebagai bapak yang bertanggung jawab, Pak Miherdi bekerja menjadi buru tani dengan upah yang sangat kecil. Untuk merubah nasib, ia beralih pekerjaan dengan menjadi pedagang kerupuk, yang dititipkan di warung-warung. Tetapi, labanya tetap sedikit. Ia pun kebingungan dan putus asa, sementara ambisi untuk hidup kaya begitu besar tertanam di benaknya.
Suatu hari, Pak Miherdi diajak salah seorang temannya ke tempat perjudian. Ia pun mencoba peruntungannya dengan ikut berjudi. Bagai ketiban durian, ia menang dan mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Ia pun pulang dan uang hasil judi tersebut langsung diberikan kepada sang istri tercinta.
Pak Miherdi ketagihan. Ia datang lagi ke tempat-tempat maksiat tersebut. Ia pun selalu menang dan mendapatkan keuntungan. Sementara ia tetap berjudi, usaha kerupuk pun jalan terus. Ia menjadi sering pulang larut malam hingga kentong subuh akibat berjudi ini.
Usaha kerupuknya lalu ditinggalkan karena bisnis judi jauh lebih menggiurkan. Bahkan, ia balik haluan dengan menjadi bandar. Dengan modal secukupnya, ia tidak lagi menjadi pemasang, tapi juga sebagai bandar. Usahanya sukses dan ia pun menjadi bandar yang kaya raya di desanya. Ia memiliki kaki tangan dan pesuruh yang banyak.
Imbas dari kesuksesannya, Pak Miherdi berubah perilakunya. Ia menjadi sombong. Ia menjadi mudah mengucapkan kata-kata kotor dan kasar kepada orang lain. Ia juga gampang menghina orang-orang miskin yang menjadi tetangganya atau yang berada satu kampung dengannya.
Lebih miris lagi, perilaku kasar Pak Miherdi juga menimpa istri dan anak-anaknya. Ia menjadi ringan tangan, apabila mereka melakukan kesalahan sedikit. Hubungannya menjadi renggang dengan istri dan anak-anaknya, karena ia lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk dengan usaha maksiatnya.
Di tengah kondisi seperti itu, sang istri tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ibu yang baik buat anak-anaknya. Anak-anak Pak Miherdi dididik dan diajari al-Qur’an dengan baik oleh Bu Miherdi. Tiap sore, Bu Miherdi menyuruh anak-anaknya pergi ke Mushola untuk mengaji. Bahkan, guru private dipanggilnya ke rumah demi sang anak agar bisa membaca al-Qur’an.
Meski begitu, Bu Miherdi tidak ada upaya untuk merubah perilaku suaminya. Bahkan, ia mendukung usaha haram yang dilakukan oleh sang suami. Agar usaha sang suami selalu sukses, Bu Miherdi terkadang pergi ke tempat-tempat keramat dan dukun untuk mendapatkan “jampi-jampi” ampuh dan keberuntungan. Di satu sisi, ia mengarahkan anak-anaknya pada agama, di sisi lain ia pun sangat mendukung bisnis maksiat suaminya. Sungguh ironi!
Tetapi, tak selamanya kita berada di atas. Pak Miherdi pun demikian dengan bisnis judinya. Ia tidak selamanya selalu menang. Bahkan, berkali-kali ia mengalami kekalahan telak, yang mengakibatkan kerugian. Untuk menutupi modalnya yang hilang, ia sampai menjual harta simpanan milik istrinya dan juga tabungan anak-anaknya. Tetapi, itu tidak bisa menolongnya untuk bangkit. Ia pun bangkrut.
Kini, kondisi Pak Miherdi sungguh menyedihkan. Sejak usahanya bangkrut, ia menjadi bermalas-malasan. Istri dan anak-anaknya tidak diberi nafkah selama beberapa hari karena ketiadaan uang. Mereka pun kerapkali menahan lapar, hanya karena tidak ada sesuap nasi pun yang bisa dimakan.
Dalam kondisi sungguh terperihkan, Pak Miherdi mengambil jalan pintas. Sang istri disuruhnya untuk pinjam duit pada saudara-saudaranya. Mereka pun mendapatkan modal baru, bukan untuk berdagang tapi untuk menghidupkan kembali bisnis judi yang sempat jaya tersebut. Upayanya berhasil. Dalam tempo cepat, bisnis judinya beranjak sukses. Orang-orang berdatangan ke tempat judinya untuk mengundi nasib. Hidupnya kembali normal. Harta yang dulu habis, kini telah kembali. Rasa lapar sudah jauh lagi dari perut Pak Miherdi, istri dan anak-anaknya.
Tetapi, belum lama Pak Miherdi menikmati kesuksesannya, di tempat perjudiannya telah terjadi persengketaan, antara dirinya dengan para penjudinya. Kekacauan dan perkelahian pun tak bisa dihindarkan. Ia dikeroyok dan tempatnya dihancurkan hingga habis tak bersisa. Persoalan tidak berhenti di sini. Rumahnya pun kemudian dihancurkan oleh mereka yang masih belum puas.
Persoalan semakin akut. Keadaan kian kacau, sehingga memakan korban jiwa dari pihak orang lain. Untuk menghindari bahaya yang lebih serius, Pak Miherdi terpaksa meninggalkan desa itu. Rumahnya dijual untuk biaya pindah dan mengurus sekolah anak-anaknya yang sempat terputus. Di tempat baru, ia membangun rumah lagi, tentunya dengan tipe lebih sederhana. Harta benda Pak Miherdi benar-benar telah habis. Kini, ia telah bangkrut kembali.
Di tempat baru, tidak ada yang bisa dilakukan Pak Miherdi. Selain keahlian berjudi, tidak ada keahlian lain yang bisa dimilikinya. Sementara ia harus menghidup istri dan anak-anaknya. Ia menganggur cukup lama dan ia pun menjadi stress. Lama kelamaan ia jatuh sakit. Setiap hari yang dirasakannya hanyalah lemas. Perutnya juga dirasakan sangat sakit. Berbulan-bulan ia terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya yang dulu gemuk dan kekar, kini tinggal kulit yang menyelimuti tulang.
Di tengah kondisi memprihatinkan itu, sang istri diketahui hamil lagi. Maka, terbayang di depan akan kebutuhan yang kian banyak. Untuk mengantisipasi hal itu, sang istri bekerja sebagai pembantu dengan penghasilan yang pas-pasan, cukup untuk bisa makan sehari-hari dan itu pun masih sangat kurang. Untungnya, anak-anaknya ikut prihatin sehingga pulang sekolah mereka nyambi bekerja serabutan.
Suatu kali Pak Miherdi mendapatkan keajaiban. Ia sembuh dari sakitnya. Setelah sembuh ia nekad pergi ke Jakarta untuk mengundi nasib. Tetapi, tak lama kemudian ia kembali lagi karena di kota sulit mendapatkan pekerjaan. Ia pun hanya bisa mengeluh dan menangis di depan istrinya.
Di tengah kondisinya yang semakin putus asa, Pak Miherdi mendapat surat dari saudaranya yang mengharuskan ia kembali ke Jakarta karena ada lowongan pekerjaan di sana. Ia pun bergegas pergi ke sana.
Sementara Pak Miherdi berada di Jakarta, kandungan sang istri semakin besar. Sang istri kemudian melahirkan, tanpa didampingi suami. Ketika itu hujan deras datang. Petir menggelegar menyambar apa saja. Semestinya di rumah Pak Miherdi ramai diadakan marhaban si bayi, tapi satu orang pun tidak ada yang datang kecuali seorang ustadz. Bahkan, rumah Pak Miherdi disambar petir.
Tak disangka, siang harinya Pak Miherdi pulang dari Jakarta. Kedatangan Pak Miherdi tentu saja suatu kabar baik karena pasti pulang membawa oleh-oleh. Tetapi justru kabar buruk yang didengar oleh sang istri. Bukan saja tidak membawa apa-apa, bahkan pulang dari Jakarta ke rumah pun harus jalan kaki saking tidak punya uang sepeser pun. Pak Miherdi dan istrinya hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya yang malang.
Hidayah itu Datang
Hidayah itu Datang
Meskipun keadaan dan perasaan susah menyelimuti keluarga Pak Miherdi, tetapi batinnya merasakan suatu kegembiraan karena melihat anak-anaknya menjadi remaja. Tanpa bimbingan dan didikannya, anak-anaknya menjadi anak yang saleh dan salehah. Rajin shalat, tak pernah keluyuran seperti anak-anak lainnya dan setiap malam selalu mengaji di masjid.
Hingga pada suatu hari, Pak Miherdi mendengar anak-anaknya mengaji kitab suci al-Qur’an. Hatinya tersentuh, hingga tak kuasa kedua bola matanya sembab dengan air mata. Ia haru atas apa yang didengarnya. Ia tak menyangka jika anak-anaknya pandai mengaji, padahal dirinya hanyalah seseorang yang tidak berguna.
Sejak peristiwa itu, Pak Miherdi sering merenung. Ia memikirkan kata-kata indah yang kemarin dibaca oleh anak-anaknya. Ia masih tidak percaya bahwa anak-anaknya bisa mengaji. Pak Miherdi pun menjadi gelisah.
Di puncak kegelisahannya, Pak Miherdi membuat sebuah keputusan yang membuat istrinya terkejut, “Ma, ayo kita shalat berjamaah di masjid!” Bu Miherdi begitu terkejut mendengar ajakan sang suami, yang tidak pernah didengarnya sejak dulu. Ajakan Pak Miherdi pun ditanggapi positif oleh sang istri. Pak Miherdi, istri dan anak-anak akhirnya shalat berjamaah di masjid yang kebetulan letaknya tidak berjauhan dengan rumah mereka. Pak Miherdi sendiri yang menjadi imamnya. Sejak itu, Pak Miherdi semakin dekat pada Tuhan. Ia rajin shalat dan berdzikir.
Pada suatu hari, tetangganya membangun rumah. Untuk menghormati tetangganya, Pak Miherdi ikut berkumpul dan begadang sampai tengah malam dengan warga setempat. Sejak Pak Miherdi mengalami perubahan total dalam hidupnya, warga pun mulai bersimpatik kepadanya. Ketika hari sudah larut malam, Pak Miherdi permisi untuk pulang kepada tetangganya.
Pada saat tiba di rumahnya, tiba-tiba saja Pak Miherdi jatuh sakit. Ia begitu saja jatuh terkulai ke lantai, sebelum sempat ke tempat tidur. Mendengar seperti ada suatu benda jatuh, Bu Miherdi terjaga dari tidurnya dan segera menghampiri datangnya suara tersebut. Tetapi, ia begitu kaget ketika benda jatuh yang didengarnya ternyata bukan benda, tapi suara sang suami saat jatuh terkulai di atas lantai. Bu Miherdi segera menghampiri suaminya dan menolongnya.
Malam itu keadaan pun bisa dikendalikan. Tetapi, sakit yang diderita Pak Miherdi ternyata tak kunjung sembuh, malah semakin parah. Untuk berobat tidak ada uang. Akhirnya, Bu Miherdi hanya pasrah pada Allah. Kepasrahan Bu Miherdi akhirnya berbuah takdir kematian. Pak Miherdi dipanggil Allah untuk selama-lamanya ke alam baka. Kematian Pak Miherdi disaksikan sendiri oleh istrinya, bahkan saat itu sedang berada di pangkuan sang istri. “Ayah meninggal dengan wajah penuh senyum dan ceria,” ujar Puspita penuh lirih.
Sekarang, Bu Miherdi tinggal bersama anak-anaknya dengan menjadi pedagang sayur mayur. Anehnya, setelah kepergian sang suami, rizki Bu Miherdi begitu melimpah. Kebutuhan anak-anaknya pun selalu terpenuhi, meski tidak seperti saat suaminya masih jaya sebagai bandar judi.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini! Amien.
Eep Khunaefi
Eep Khunaefi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar