Meluruskan Penafsiran yang Bias Jender
Judul: 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisisnya Penulis: Drs Muhammad Thalib Penyunting: Jarot, dkk. Penerbit: Irsyad Baitus Salam Terbit: Juni 2001 Tebal: 208 halaman
ADA sebuah pertanyaan menarik, mengapa kepemimpinan wanita selalu menjadi kontroversi? Padahal, sejak zaman dahulu telah banyak contoh yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara kaum hawa itu yang mampu menjadi pemimpin dan melakukan pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki, misalnya Ratu Bilqis (masa Nabi Sulaeman), Ummu Umarah dan Ummu Aiman (ikut perang Uhud bersama Rasulullah SAW, dan Aisyah (memimpin perang Jamal melawan tentara Ali ra), dan lain-lainnya.
Apakah hal itu merupakan kenyataan bahwa kebenaran sejarah selama ini dikonstruksi sedemikian rupa secara sepihak sehingga yang terjadi adalah ketidakadilan, ketidakberpihakan, dan kesewenang-wenangan terhadap kaum wanita? Atau memang dalam teks-teks suci sendiri (Al Quran dan hadis) terdapat ayat-ayat yang secara tendensius melarang kaum wanita untuk menjadi pemimpin.
Hal-hal itulah yang akan dikupas habis dalam buku 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisisnya ini. Dengan menganalisa kembali ayat-ayat Al Quran dan hadis Nabi yang selama ini menjadi momok bagi wanita dalam kiprahnya di dunia politik (seperti QS 4: 34 dsb), Muhammad Thalib, pengarang buku ini, merekonstruksi ulang pemahaman yang dinilainya salah tentang teks-teks tersebut.
Ia kemudian membeberkan kelemahan-kelemahannya, dengan didukung alasan-alasan yang kuat dari kedua sumber hukum Islam tersebut, penjelasan para ulama tafsir, hadis, fikih, dan tarikh guna memahami setiap permasalahan dengan kaidah dan metode ilmiah islamiah yang valid.
Misalnya, tentang QS 4: 34, yang artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...". Untuk ayat ini Thalib menyalahkan penafsiran sebagian orang yang menyatakan bahwa ayat tersebut berarti pelarangan bagi kaum wanita untuk menjadi pemimpin, dan sebaliknya hanya laki-laki yang sah menjadi pemimpin. Menurut Thalib, ayat tersebut sebenarnya lebih cenderung mengenai soal kepemimpinan laki-laki atas perempuan berkaitan dengan masalah pemberian nafkah suami kepada istri dan keluarganya.
Hal itu, katanya, dapat dianalisis dengan adanya kata-kata bimaa anfaquu biamwaalihim yang terdapat dalam potongan ayat selanjutnya yang artinya "...karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...". Anak kalimat ini memberi makna bahwa ayat tersebut berhubungan khusus untuk masalah keluarga (laki-laki menafkahkan sebagian dari harta mereka); tidak melebar ke politik.
Islam, kata Thalib, memberikan hak-hak politik kepada kaum wanita (QS 42: 38), karena dalam ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah ini diajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai khalifah (QS 2: 30), setara martabat dan harkatnya (QS 40: 40, dan QS 4: 32), dan perempuan juga bertanggung jawab dalam membangun masyarakat, bukan hanya dalam keluarga (QS 9: 71).
Selanjutnya, menurut Thalib, seseorang yang melarang orang lain menjadi pemimpin berarti dia telah melanggar sunnah tabhi'iyah (hukum tetap penciptaan atau ketentuan paten yang berlaku universal) yang telah diciptakan Tuhan sesuai dengan kodrat-kodrat kemanusiaannya, seperti orangtua menuntut penghargaan dari anak, anak menuntut perlindungan dari orangtua, suami wajib mengayomi istri, hubungan kerabat menuntut kerukunan dan sikap tolong-menolong, dan pemimpin menuntut kepatuhan dari yang dipimpin. Di sinilah kepemimpinan itu dipahami sebagai hak setiap manusia yang bersifat universal; jika tidak dipatuhi, merupakan sebuah pelanggaran terhadap kodrat-kodrat kemanusiaan.
***
SEJARAH menunjukkan, sebagian besar di antara para mufasir Islam adalah laki-laki, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mujahid, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu al-Maraghi, dan sebagainya. Tetapi, juga pernah ada mufasir perempuan, itu pun muncul pada zaman belakangan yaitu Dr Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi') yang menelurkan al-Tafsir al-Bayani li al-Qur'an al-Karim.
Maka wajar jika sebagian orang menganggap bahwa tafsiran-tafsiran yang selama ini dihasilkan tendensi menyubordinasikan peran perempuan dalam politik. Parahnya, persoalan agama tersebut kemudian diadopsi oleh para politikus partisan kita sehingga mengakibatkan keputusan-keputusan politik yang diambil sering tendensi mengagungkan dunia patriarki. Padahal, apa yang diadopsi tersebut adalah hukum (syariat) Islam, yang dikonstruksi oleh para ahli tafsir dan fikih terdahulu, bukan Islam itu sendiri secara substantif. Konstruksi oleh para ahli itu kebenarannya senantiasa berubah-ubah sesuai perkembangan masa.
Dari kenyataan itulah, Budhy Munawar Rahman dari Paramadina, pernah mengatakan bahwa "syariat Islam (termasuk tafsir) adalah hukum yang digunakan umat Islam untuk menyelesaikan masalah sosial politik dalam kehidupannya. Dengan demikian, syariat Islam merupakan hasil kreativitas, atau hasil pemikiran, yang terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman". (Kompas, 3 September 2001)
Wacana tersebut pernah terjadi di Indonesia, salah satunya ketika terjadi bursa pencalonan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden pada tahun 1999, di mana hanya gara-gara para politikus kita pada saat itu sudah termakan oleh tafsir-tafsir yang bias jender tersebut, maka putri Bung Karno itu pun gagal menjadi nomor satu di negeri ini.
Ironisnya, dengan kasus yang sama, para politisi itu pun ketika bermaksud menjatuhkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggunakan dasar yang sama (agama), tetapi dengan logika yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu perempuan boleh menjadi pemimpin dan tidak ada ayat yang secara tegas melarang perempuan untuk menduduki posisi tersebut.
Dari sinilah semakin mempertegas keyakinan kita, bahwa hukum Islam merupakan produk manusia yang setiap saat dapat ditafsirkan berbeda-beda walaupun itu dalam kasus yang sama. Ayat yang sama bisa ditafsir berbeda-beda.
Selain karena penafsiran yang bias jender tersebut, Thalib melihat bahwa munculnya isu-isu pelarangan wanita menjadi pemimpin sebenarnya merupakan hasil propaganda dari orang-orang Barat, yang berhasil ditanamkan di sini.
Itulah beberapa faktor mengapa perempuan dibolehkan atau dilarang menjadi pemimpin, yang oleh Thalib diramu dalam 17 alasan yang secara substantif sudah dijelaskan di atas.
(Khunaefi, mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar