Jumat, Desember 19, 2008

BOOK FAIR 2008 DI JCC SENAYAN CITY

Rabu, 12 November 2008. Pagi hari yang cerah. Jam telah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Aku terjaga dari tidur. Semalam begadang, jadi hari itu bangun agak kesiangan. Aku ke belakang untuk mengambil secangkir gelas. Lalu kembali ke ruang utama rumah nenekku, Mak Enci. Kuraih sebungkus kopi yang tergeletak di atas meja ruang utama. Setelah itu kurobek pakai tangan bagian ujungnya. Maka terbukalah bungkus kopi ABC itu dan kutuangkan isinya ke gelas tersebut lalu kusedu dengan air panas dari dispenser yang terletak tak jauh dari meja.

Aku menyeruput kopi itu perlahan-lahan. Takut gelegak panas yang tersembul dari lubang gelas akan menghancurkan tenggorokan dan seluruh tubuhku. Setelah itu kumelangkah ke ruang kerja dan kubuka laptop merk Compac Pressario V300 yang kubeli dua minggu yang lalu di Plaza Cibubur dengan kartu kredit. Aku ingat bahwa hari ini ada janji dengan seseorang. Aku hendak menyerahkan proyek yang kukerjakan kepadanya.

Ku-searching judul “Prakata Penulis”. Aku harus mengedit tulisan ini agar seluruh pekerjaanku usai. Sebab, inilah tulisan akhir yang harus kuedit. Hanya 15 menit tulisan itu berhasil kuedit sebab dua hari yang lalu sebagian sudah kukerjakan.

Usai memastikan pekerjaan itu selesai, kutelpon orang itu via handphone, “Di, gimana kalau pagi aja kita ketemunya?” Sebelumnya, kami janjian bertemu habis Dzuhur. Tapi, rupanya aku punya rencana lain. Aku ingin kepergianku ke Ciputat tidak untuk satu urusan. Setelah bertemu dengannya aku ingin lihat Book Fair di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan City, Jakarta Pusat.

“Baik, tidak masalah!” jawab Lamadi di seberang sana.

Ku-shut down laptop lalu kututup, setelah sebelumnya hasil editanku itu ku-copy ke flash disk merk Nexus yang kubeli di toko komputer Pandawa, Cileungsi, Gunung Putri dua tahun yang lalu dengan harga 100.000,-. Lalu aku mandi, setelah sebelumnya kukeluarkan motor Vegar-R New warna milineum yang kubeli baru dua kali kreditan di AMI Jaya, tapi aku harus membayarnya ke Adira yang dekat Mal Cileungsi.

Di tengah deru motor yang kupanaskan, aku berdandan ala kadarnya: kaos warna biru dan celana jeans, yang kusukai baru empat tahun terakhir. Sebelumnya, aku paling anti dengan jenis celana jeans, karena itu aku lebih sering mengenakan celana bahan. Demi gaul dan desakan teman-teman, aku akhirnya pasrah: memakai celana jeans.

Usai berkaca untuk memastikan pantas atau tidaknya diriku ini, aku berjalan keluar sambil meraih tas kuning tak berisi. Sengaja kukosongkan, untuk kuisi dengan buku-buku yang kelak kubeli di Book Fair.

Aku menaiki motor Vegar-R. Tetapi, belum saja ku-stel gigi satu, aku kembali turun dari jok. “Hari ini panas sekali, sebaiknya aku pakai sepatu olah raga,” bisikku dalam hati. Aku pun melepas sandal warna coklat butut yang kubeli di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dua bulan yang lalu dengan harga 50.000,- untuk diganti dengan sepatu butut juga warna putih dengan loreng kuning membentuk horizontal dari samping kanan ke kiri yang kubeli tiga tahun yanglalu di Pasar Karangampel, Indramayu, saat liburan Idul Fitri dengan harga 25.000,-. Murah sekali, tapi sangat awet.

Saat itu istriku telah pergi ke tempat pengajian ibu-ibu. Lalu aku meluncur menuju Ciputat di tengah terik matahari yang membakar seluruh tubuhku. Karena itu, aku sengaja mengenakan jaket tipis yang kudapatkan dari AMI Jaya saat membeli motor baru dan kutanggalkan jaket kulit yang kubeli di depan Rumah Sakit Cijantung dengan harga 99.000,-.

Lima belas menit perjalanan, aku berhenti di SPBU Pertamina untuk mengisi premium. “Sepuluh ribu,” jawabku setelah sang penjaga SPBU menanyakan berapa liter yang kuminta. Aku keluarkan uang 50.000,-. Ia mengembalikannya dalam bentuk uang dua puluh ribu warna hijau, sepuluh ribu warna merah, lima ribu warna coklat dan sisanya ribuan berjumlah 5 lembar. Maka klop-lah berjumlah empat puluh ribu.

Lalu kulanjutkan perjalanan. Sejam lewat 15 menit kemudian aku sampai di depan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Aku berhenti dan kuraih handphone, “Di, kita bertemu di Rumah Makan Padang saja. Aku tunggu kamu di depan Hero.” Awalnya, kami janjian bertemu di kedai kopi supermarket Hero di tingkat dua, tapi kubatalkan. “Di sana mahal, nyari yang murah saja,” alasanku tapi kuungkapkan pada sahabatku itu.

Aku menunggu di depan Hero, yang sebenarnya sudah merubah dirinya menjadi Giant. Tapi, kami lebih akrab dengan sebutan Supermarket Hero, nama sebelumnya, dibandingkan nama baru itu.

Aku meng-sms Lamadi, “Di, aku sudah di depan Hero.” Tak lama kemudian sahabatku datang bertopi alat ABRI, berkaos dan bersandal jepit. Aku meledeknya kala itu, “Hari ini boleh pakai sandal jepit, belum tentu setahun atau dua tahun kemudian.” Ia tertawa aku meledeknya.
Ia lalu menunggang di belakangku. Segera kami meluncur ke Warung Padang, Kertamukti, Ciputat. Tiga menit kami sampai. Kami masuk dan memesan, “Mas, pakai ayam bakar ya.” Lamadi menimpali, “Saya minum jus alpukat saja, Mas.” Aku menjawabnya, “Lho, kamu gak makan.” Ia menjawab, “Gak, Ep. Masih kenyang!”

Sambil makan dan menikmati minuman ala kadarnya, kami membicarakan proyek yang sedang kami kerjakan. Kami juga mengurai beberapa kemungkinan proyek ke depan. “Insya Allah, ada satu proyek lagi nilainya lumayan, Ep.”

“Bagus, kalau begitu,” ujarku.

Usai makan aku menyerahkan flash Disk. “Di, di sini datanya. Ada beberapa bagian yang kurubah dan kutambah.”

“Terima kasih, Ep!”

Jam telah menunjukkan pukul 12.30 WIB. Waktu Dzuhur telah tiba. “Di, kamu mau ke mana? Kita ke Masjid Fathullah dulu, yuk!”

“Oke,” jawabnya.

Kami meluncur ke masjid milik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta yang juga almamaterku ini. Di sana aku bertengadah pada Tuhan akan besarnya arti shalat. Memuja-Nya bahwa tiada Tuhan yang pantas disembah selain-Nya.

@@@

Siang membakar kota Ciputat. Di tengah cereces keringat membasahi tubuhku, aku meluncur ke Senayan. Terlebih dahulu temanku kuturunkan di jalan Kampung Utan. Ia tidak pergi bersamaku untuk mengurusi pekerjaannya sendiri. “Nanti, Jum’at atau Sabtu saya ke sana,” ujarnya.

Pada saat bersamaan kepergianku ke Book Fair itu, sebenarnya seorang spiderman dari Perancis bernama Alain Robert sedang memanjat City Tower, Thamrin, Jakarta Pusat, setinggi 120 meter. Rencana awalnya ia akan memanjat Hotel Mulia di Senayan, tapi tak mendapat izin dari kepolisian. Bahkan, usai menuntaskan aksi nekadnya itu, ia langsung digadang kepolisian karena tak memiliki izin juga. Akibat ulahnya yang nekad ini, banyak orang berdecak kagum kepadanya. “Orang bisa aja ya untuk membuatnya tenar,” bisikku dalam hati mengagumi Alain.
Sejam kemudian aku sampai di tempat. Motor kutitipkan di pemarkiran. Lalu aku masuk dan membeli karcis seharga Rp. 5000,- (gak mahal sih). Pertama kali masuk ke JCC aku sudah disuguhkan berbagai macam alat elektronik berupa latop dari merk-merk terkenal seperti Hp, Compaq, Linove, dan sebagainya. Aku memutar-mutar. Kulihat sebuah laptop mirip yang kubeli dua bulan yang lalu, Pressario V3000.

Di Book Fair ini aku menemukan banyak hal: cewek cantik dan seksi, laki-laki berjenggot dan berdasi, ibu-ibu berkerudung yang anggun dan menawan, atau seorang pemuda yang tampak kasihan dari penampilannya: pakaian kusuh, sandal jepit dan tas jinjing yang sudah rusak. Suasana di sini memang seperti di pasar. Hanya saja, di sini jelas lebih unggul secara kualitas: para pengunjungnya adalah orang-orang yang suka dengan ilmu pengetahuan, tantangan, bisnis atau karir. Satu hal yang membedakan, di sini tidak ada preman yang mudah digarap oleh kepolisian yang akhir-akhir ini sedang giat menyisir para gelandangan dan peresah masyarakat tersebut.

Tak ada yang kubeli dari alat-alat elektronik itu. Aku juga tak mau lama-lama di situ, takut terjebak oleh satu permintaan: ingin membeli laptop lagi. Sebab, di sana banyak sekali jenis baru yang canggih dengan harga terjangkau. Lagi pula, tujuanku ke sini bukan mencari barang elektronik, tapi mencari buku. Tapi di mana mereka?

Aku terus masuk ke ruangan yang lebih dalam. Yang kulihat sekali lagi adalah laptop dan barang elektronik lainnya. Akhirnya kukeluar lewat pintu samping kanan menuju ruangan lain, maka tampaklah buku-buku berjejer dan bertumpuk di atas meja. “Inilah yang kucari!” bisikku dalam hati.

Aku terus mengitari stand-stand buku dari penerbit-penerbit terkenal di Indonesia. Di Irsyad Baitus Salam aku berhenti. Aku melihat banyak buku Islam menarik. Aku pilah-pilih, barangkali ada yang cocok dan sreg di hatiku. Akhirnya aku mendapatkan dua buku: “Tahapan Mendidik Anak: Teladan Rasulullah” karya Jamaal ‘Abdur Rahman dan “Wanita Teladan: Istri-istri, Putri-putri & Sahabat Wanita Rasulullah” karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu Nashr Asy-Syibli.

Aku membeli buku yang pertama, padahal belum memiliki anak. Aku mempersiapkannya kelak, ketika aku memilikinya. Daftar isinya yang panjang, membuatku tertarik untuk membelinya. Kedua buku ini kuperuntukkan untuk istriku yang cantik.
Aku menghampiri kasir laki-laki,

“Mas, bisa pakai kartu kredit.”

“Tidak bisa,” jawabnya sambil mengumbar senyuman mematikan.

Aku merogoh dompet dan kukeluarkan 50.000,-.

“Ni Mas, kembaliannya 28.000,-.”

Kedua buku itu hanya dihargai 22.000,-. Buku pertama seharga 12.000,- dan buku kedua dihargai 10.000,-. Emang, di Book Fair ini buku-buku berkualitas dengan harga murah bisa kudapatkan. Inilah menariknya diadakan pameran ini.

Aku berjalan lagi dan berhenti di BIP (Penerbit Ilmu Populer). Dari penerbit yang masih kelompok Gramedia ini aku mendapatkan dua buku juga berjudul “Bos Tidak Pernah Salah!” Karya Tom Markert dan “Membangun Cinta & Keintiman dengan Feng Shui” karya Richard Webster. Kedua buku itu dihargai 20.000,- (murah juga ‘kan!).

Aku melanjutkan perjalananku dan berhenti ketika ada cewek artis cantik yang kukenal lewat televisi. Namanya Shahnaz Haque. Ada apa ia di sini? Ia berdiri di tengah kerumunan banyak orang di sebuah penerbit yang kulupa namanya. Aku berjalan sebentar melihat buku-buku dari penerbit itu. Aku melihat sebua buku warna hijau berjudul “Keep Smiling” karya Shahnaz Haque. Seketika aku baru ingat sebuah iklan di Kompas, 10 November 2008, “Hari ini ‘kan ada jadwal bincang-bincang dengan Shahnaz mengenai buku yang ditulisnya itu!”

Aku merekamnya sebentar dengan hp Nokia tipe 6280. Saat itu tak sengaja ia melihatku. “Ah, kudapat ekspresinya!” bisikku. Terus terang, aku pengagum para selebritis. Aku menganggap derajat mereka sangat tinggi, meski narkoba, mabuk-mabukan dan hidup glamour tak lepas dari kehidupan mereka. Karena itu, ketika ada selebritis, aku ingin berfoto bersamanya. Ada beberapa artis yang pernah aku ajak foto bersama seperti Gita KDI, Ike Nurjana, Iis Dahlia, Luna Maya, dan Maudy Kusnaedi, pemeran Zaenab dalam sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” garapan Rano Karno.

Aku tak mau berlama-lama di situ. Aku berjalan kembali dan berhenti di penerbit Kharisma. Aku membeli dua buku besar dengan harga keduanya hanya 16.000,- (diskon 70%) berjudul “Misteri Besar yang Tak Terjawab” dan “Skandal dan Perselingkuhan Terbesar Dunia (Sex and Scandals)”. Aku membelinya dengan kartu kredit.

Lalu aku berjalan lagi dan berhenti di sebuah penerbit. Dari sini kudapatkan dua buku lagi berjudul “Warisan (daripada) Soeharto” karya beberapa penulis terbitan Kompas dan “Yang Penting Hepi” karya M. Ikhsan terbitan Dar Mizan. Aku membayarnya dengan kartu kredit HSBC Visa lagi.

Setelah itu aku tak membeli buku lagi. Dari jauh aku mendengar suara Shahnaz Haque lewat speaker. “Ah, acaranya sepertinya sudah dimulai!” batinku membisik. Aku menghampiri asal suara itu. Benar saja, perempuan cantik itu sedang berbicara menjawab sebuah pertanyaan dari seorang pemuda yang duduk paling depan. Aku tak lama di situ karena kehabisan tempat duduk. Membiarkan diriku lama berdiri sama saja dengan menghukum kakiku yang sudah tak kuat diajak berjalan-jalan lagi. “Aku pulang saja, ah!” batinku kembali membisik.

Jam telah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sudah tiga jam aku berada di Book Fair ini. Sudah cukup bagiku untuk segera pulang. Delapan buku sudah cukup banyak. Nanti, hari terakhir, tanggal 16 November 2008, aku datang lagi dan membawa uang cash secukupnya. Sebab, banyak penerbit yang tidak menerima pembayaran dengan kartu kredit. Selamat tinggal Book Fair! Doakan aku agar mau kembali lagi ke situ!

@@@

Tidak ada komentar: