Jumat, Juli 31, 2009

PESANTREN AR-RIDWAN, BEKASI

“Pesantren Klasik yg Mengadopsi
Sistem Pendidikan Modern”

Konstruksi bangunan pesantren tampak tak terlalu megah. Namun, di balik kesederhanaannya itu, pesantren ini kerapkali mengukir prestasi yang membanggakan dalam lomba pidato berbahasa Arab dan Inggris, baik tingkat Bekasi maupun Jawa Barat.

Pesantren Ar-Ridwan namanya. Lembaga pendidikan boarding school ini berada di kawasan jalan raya Jatiluhur Gg. H. Longkar Kp. Pedurenan, Jatiluhur, Jatiasih, Bekasi. Keberadaannya di bawah naungan Yayasan Ar-Ridwan, yang didirikan oleh lima orang. Salah satunya adalah Ustadz Zainal Abidin, yang juga pendiri pesantren ini.

Awalnya, pesantren ini berdiri di atas tanah seluas 750 m. Di atas tanah itu lalu didirikan sebuah masjid atas biaya H. Eddy Pramono, SE. Melalui masjid inilah digalakkan lembaga pendidikan TPA (Taman Pendidikan Anak). Setelah tiga tahun berjalan, TPA berubah status menjadi TK (Taman Kanak-kanak) Ar-Ridwan. Dua tahun kemudian, usai kelulusan TK angkatan pertama, ada tuntutan dari wali murid untuk mendirikan SD.

Seperti yang dikatakan oleh Ustadz Zaenal Abidin, wali murid mengusulkan harus ada sistem pendidikan berkesinambungan. Mereka menginginkan diadakannya Sekolah Dasar (SD), agar anak-anak TK lulusan ini mendapatkan pendidikan secara berkesinambungan. “Saya pun lalu mendirikan SD,” ujar Ustadz Zaenal Abidin.

Berbekal murid-murid TK sebelumnya plus dari luar, SD Ar-Ridwan pun berjalan dengan baik selama enam tahun. Namun, ketika SD itu meluluskan angkatan yang pertamanya, ada tuntutan kembali dari wali murid untuk mendirikan SMP. Begitulah seterusnya, setelah SMP ada tuntutan lagi untuk mendirikan SMA.

Kini, pesantren pun menaungi empat lembaga pendidikan di atas sekaligus, yang semuanya tetap berada dalam naungan Yayasan Ar-Ridwan. Namun, dalam perkembangannya, TK Ar-Ridwan mengalami kendala. Munculnya play group atau lembaga-lembaga pendidikan serupa yang lebih modern, membuat TK Ar-Ridwan tergusur dan kehilangan daya tarik. “Ini juga tidak terlepas dari perhatian kami yang kurang terhadap perkembangan TK. Jadi, kami memutuskan meniadakan TK,” ujar Ustadz Zaenal Abidin.

Setelah itu, pesantren pun lebih fokus pada pengembangan SD, SMP dan SMA. Mereka semua terdidik dalam boarding school (ruang tertutup) di sebuah asrama yang disediakan pesantren. Namun, bagi mereka yang menginginkan pulang ke rumah alias pulang pergi, pesantren juga memberikan fasilitas semacam ini.

Kini, pesantren telah memiliki luas tanah sekitar 4200 m untuk lembaga pendidikan SD, SMP, SMA dan 1200 meter untuk asrama putra dan putri. Kedua lembaga itu terpisah oleh jalan jati luhur.

Sistem Pendidikan Berbahasa

Dalam perkembangannya, Pesantren Ar-Ridwan kerapkali mengukir prestasi, terutama dalam ajang pidato bahasa Arab, Inggris dan Indonesia baik tingkat Bekasi maupun Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan pesantren sendiri yang mengharuskan anak-anak santrinya untuk berbicara bahasa Arab dan Inggris setiap hari.

Padahal, kalau dari sistem konstruksi bangunan atau konsep pendidikan pesantren Ar-Ridwan sendiri, pesantren ini termasuk pesantren klasik atau tradisional. Kitab-kitab yang diajarkan di sana seluruhnya kitab kuning atau kitab gundul. “Kami jarang sekali menggunakan kitab-kitab terjemahan,” ujar Ustadz Zaenal Abidin. Pelajaran semacam tauhid, akhlak, hadits, tafsir, hingga ushul fikih dan fikih pun, selalu diajarkan melalui kitab-kitab klasik Arab yang gundul.

Namun, dengan dipergunakannya bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari anak-anak santri, menandakan bahwa pesantren ini juga mulai menerapkan sistem modern di sana. “Inilah yang bisa kami jual ke luar. Kami berusaha balancing (seimbang –red) antara pendidikan klasik dan modern,” ujar Ustadz Zaenal Abidin.

Rupanya, Pak Ustadz Zaenal Abidin tertarik dengan sistem pendidikan modern Gontor yang menerapkan bahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari anak-anak santri. Selain itu, pak ustadz juga punya pengalaman pribadi ketika menyantrikan anaknya yang berusia lima tahun ke pesantren di Gresik asuhan KH. Mahmud Sofyan, di mana pesantren itu menerapkan sistem pendidikan berbahasa ini.

Tradisionalisme pesantren ini, selain itu, tampak dari dilarangnya anak-anak santri untuk menonton televisi setiap hari. Mereka hanya boleh menontonnya setiap minggu saja di sebuah ruangan khusus yang disediakan pesantren dan dalam pengawasan ustadz. “Tidak mengapa anak-anak santri ketinggalan informasi. Toh, mereka masih anak-anak,” ujar ustadz yang pernah nyantri di pesantren Asy-Syafi’iyah, Jakarta ini.

Karena sistem ini pula kalau dalam setiap cerdas cermat, kerapkali anak-anak santri Ar-Ridwan selalu kalah dalam setiap pertanyaan-pertanyaan up to date atau aktual, namun kerapkali menang dalam pertanyaan bahasa Arab dan Inggris. Karena sistem bahasa yang diterapkan di pesantren ini pula, lembaga pendidikan modern Fajar Hidayah, Kota Wisata pernah melakukan study comparative (studi perbandingan) ke sana.

Lantas, bagaimana cara menggairahkan anak-anak santri dalam berbahasa Arab dan Inggris selain speaking every day? Menurut Ustadz Zaenal Abidin, setiap minggu pesantren mengadakan muhadharah (pidato) yang menggunakan ketiga bahasa: Arab, Inggris dan Indonesia. Setiap santri dituntut untuk tampil di mimbar dan berpidato menggunakan ketiga bahasa tersebut dalam waktu yang ditentukan. Bahkan, kerapkali antara santri putra dan santri putri diadu, untuk mencari yang terbaik di antara mereka. Dengan cara seperti ini, mereka pun bisa percaya diri saat mengikuti lomba pidato bahasa di tempat lain.

Sayangnya, orientasi orang tua siswa yang semakin berbeda setiap tahunnya, membuat eksistensi pesantren semakin kurang dilirik, termasuk pesantren Ar-Ridwan sendiri. Padahal, sebuah pesantren seperti juga Pesantren Ar-Ridwan, merupakan media yang sangat baik untuk menempa anak-anak menjadi pribadi-pribadi unggul di masa yang akan datang. Amien!

Eep Khunaefi

Tidak ada komentar: