Jumat, Juli 31, 2009

NY. DRA. HJ. FARIDAH AFIFF

“Berdakwah Lewat Organisasi dan Pesantren”

Cita-citanya untuk menjernihkan ajaran Islam dari segala macam takhayul dan khurafat patut dihargai. Lewat sebuah organisasi dan pesantren, ia pun sedikit demi sedikit bisa memenuhi cita-citanya tersebut.

Nyai Dra. Faridah Afiff, begitu namanya. Perempuan kelahiran Cirebon 76 tahun yang lalu ini, sangat gigih dalam membersihkan ajaran Islam dari segala hal yang berbau takhayul dan khurafat. Untuk memenuhi cita-citanya tersebut, sejak kecil Ibu Faridah sudah terlibat aktif dalam kegiatan organisasi Al-Irsyad. Kebetulan saat itu, sang bunda adalah ketua Al-Irsyad di Cirebon. Jadi, secara tidak langsung, ia pun terlibat di sana untuk melanjutkan perjuangan yang pernah dirintis oleh pendirinya, Ahmad Sukarti.

Ibu Faridah sendiri sebenarnya terlahir dalam keluarga yang punya dua pandangan berbeda soal wanita. Di mata bapak, seorang wanita cukup di rumah saja melayani suami dan tidak boleh tumbuh menjadi wanita karir. Sebaliknya, sang ibu lebih senang pada wanita karir yang aktif di lapangan atau berorganisasi. Perbedaan pandangan kedua orang tuanya ini, lambat laun membentuk karakter Ibu Faridah menjadi lebih beragam. Di satu sisi ia aktif sebagai organisatoris, di sisi lain ia juga senang pada hal-hal yang berbau religius, seperti impian bapaknya.

Namun, bila ditelusuri lebih jauh, rupanya bakat sang bunda lebih kuat melekat pada sosok Ibu Faridah. Ada kisah tersendiri soal ini. Saat itu ia dan sang bunda terpisah dengan bapaknya yang tinggal di Medan selama hampir tiga tahun lebih karena penjajahan Jepang. Selama itulah, Faridah kecil hidup bersama ibunya dan mendapatkan pendidikan darinya an sich. Otomatis, darah organisasinya pun melekat pada dirinya.
Dalam perkembangan berikutnya, Ibu Faridah pun ditempah oleh neneknya berupa ajaran-ajaran agama selama hampir tiga tahun. Sisi-sisi inilah yang menjadikan Faridah kecil hingga dewasa begitu konsen pada persoalan wanita dan keagamaan. Karena itu, ia pun terus getol berdakwah lewat organisasi Al-Irsyad di Jakarta yang kemudian diketuainya dan melalui pesantren Darul Marhamah yang ia dirikan sendiri. Sebuah usaha yang patut kita teladani bersama!

Namun, satu hal yang juga tak bisa dilupakan oleh Ibu Faridah adalah persinggungannya dengan Mohammad Natsir, tokoh intelektual ternama yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Saat usianya masih muda, sekitar 25 tahun, ia sudah bersinggungan dengan tokoh ini. Bahkan, Natsir pernah menginap di rumahnya. Di situlah mereka saling bertukar pikiran. Secara tidak langsung, pemikiran sang tokoh ini pun begitu mempengaruhi perjalanan Ibu Faridah di kemudian hari. “Semua orang Al-Irsyad pendukung Masyumi di Konstituante,” ujar wanita low profile ini. Jadi, begitu banyak sosok yang mempengaruhi kepribadian Ibu Faridah, sehingga membentuknya menjadi pribadi yang cukup lengkap.

Puncak Keberhasilan
Puncak keberhasilan Ibu Faridah dalam mewujudkan misi kecilnya adalah ketika pesantren Darul Marhamah berdiri. Sebab, inilah pesantren pertama di daerah Bogor, bahkan Jawa Barat yang dijadikan model pesantren wanita bertaraf internasional. Dengan label semacam ini, praktis Ibu Faridah pun merasa dirinya bangga atas perjuangan dakwahnya selama ini.

Sebab, bila ia ingat ke masa-masa sebelumnya, ia masih teringat bagaimana susahnya mendirikan pesantren ini? Bagaimana pula kondisi masyarakat sekitar yang sangat lekat dengan hal-hal yang berbau khurafat dan takhayul serta penampilan eksotis para ibunya? Namun, dengan kehadiran pesantren ini semuanya lambat laun bisa terkikis. Misalnya, soal kuburan di depan rumah. Dulu sebelum pesantren ini tiba, sudah sangat lazim kuburan itu ada di setiap rumah orang warga Jatisari. Namun, kebiasaan ini menjadi hilang semenjak pesantren masuk ke sana. Semenjak itu, ketika ada orang meninggal warga lebih sering menguburkan mayatnya ke kuburan umum.

Satu lagi, soal penampilan atau eksotisme wanita. Sebelum pesantren ini datang, para ibu-ibu di sana sudah terbiasa berpakaian sangat eksotis, yang tanpa malu keluar rumah dengan pakai kemben saja. Namun, setelah datang pesantren mereka merasa malu dan dengan sendirinya memperbaiki akhlak mereka. Jadi, secara tidak langsung, Ibu Faridah melalui pesantren yang didirikannya ini telah memberantas sedikit demi sedikit eksotisme kaum ibu dalam berpakaian dan tentunya, cara beragama yang masih berbau khurafat dan takhayul.

Ibu Faridah membangun pesantren ini sendirian. Sang suami hanya mendukung dari jauh. Apalagi, ketika sang suami mendahuluinya ke alam baka, praktis ia pun berjuang sendiri membangun dan mengembangkan pesantren. Atas usahanya yang tak kenal lelah ini, sebuah buku besar berjudul “Profil Pendidik dan Pengusaha Pendidikan” pun memasukkan Ibu Faridah sebagai salah satu tokohnya. Ini sebuah pencitraan yang tidak mudah. Karena itu, gelar ini patut diapresiasi bersama.

Prestasi dan Penghargaan
Prestasi ibu dalam bidang dakwah lewat organisasi dan pesantren ini diakui oleh beberapa media. Karena itu, tidak sedikit media yang meliputnya mulai dari Majalah Gontor yang dua kali memuat profilnya hingga Majalah Noor. Meski begitu, Ibu Faridah selalu rendah hati ketika ditanya keberhasilannya tersebut, “Saya bukan siapa-siapa, Mas.”

Keikhlasan dan kegigihan ibu Faridah dalam mengembangkan pesantren semakin bernilai ketika ia harus rela menjual rumahnya senilai 4 milyar lebih untuk pengembangan pesantren. Bahkan, ia pun harus menjual rumah satunya lagi untuk pembuatan jalan di di depan pesantren yang menghubungkannya dengan masyarakat. Sebuah pengorbanan yang luar biasa bagi seseorang untuk mendarmabaktikan dirinya di jalan Allah!

Kini, ia sendiri hanya tinggal di sebuah rumah yang jauh dari kesan mewah, padahal ia memiliki sebuah pesantren dengan kategori salah satu terbersih di Jawa Barat dan model percontohan dari Departemen Agama sebagai pesantren wanita bertaraf internasional. Sebab, sekitar 30 laboratorium telah ada di sana sebagai sebuah indikasi cukup modern-nya pesantren ini dalam mencetak kader-kader Muslim yang berkualitas baik dari sisi intelektualitas atau keagamaannya.

Bila dihitung sejak tahun 1961, jadi hampir 48 tahun Ibu Faridah berdakwah lewat organisasi dan pesantren. Atas segala prestasinya yang luar biasa ini, ia pun mendapatkan berbagai penghargaan seperti International Professional of the Year tahun 2003, di hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Setahun kemudian ia mendapatkan penghargaan Moslems Business Award. Penghargaan yang terakhir ini sangat terkait sekali dengan investasinya di bidang pendidikan dan dakwah. Lalu, ada Social Care Human Award, yang didapatkan setahun kemudian (2005).

Dengan berbagai penghargaan di atas, Ibu Faridah pun bisa menempatkan dirinya sebagai sosok yang cukup penting di era sekarang dalam mengembangkan sistem pendidikan dan dakwah yang lebih modern, terutama dari kalangan wanita.

Namun begitu, Ibu Faridah tetap rendah hati ketika ditanya soal keberhasilannya itu. Malah, dia mengatakan bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Di luar masih banyak orang yang lebih hebat dari dirinya. Karena itu, ketika Hidayah bermaksud mewawancarainya, ia malah bercanda, “Apakah saya memang pantas diwawancarai?”

Begitulah, sosok ibu Faridah yang di usianya sudah nenek-nenek itu, tapi jiwanya masih bergelora untuk berdakwah. Namun, untuk soal ini, lagi-lagi ia berseloroh, “Di luar masih banyak orang yang usianya di atas 80-an, tapi masih giat bekerja dan berdakwah.”

Ketika dirinya ditanya soal kenapa harus menjual rumahnya untuk pengembangan pesantren? Dengan canda ia pun malah menjawab, “Ada orang yang malah menjual rumahnya untuk membangun sebuah masjid.” Ibu Faridah memang sosok yang rendah hati dan tak berharap dirinya dilebih-lebihkan atas segala pencapaian atau pengorbanannya. Semoga kita bisa meneladaninya! Amien.

Eep Khunaefi

Tidak ada komentar: