‘Arsy Tuhan dalam Perdebatan
Tuhan berada di mana? Jika kita tanyakan pada seorang anak kecil, ia akan menjawab: Tuhan ada di langit, sambil menunjukkan telunjuknya ke atas. Menurut mayoritas ulama, jawaban seorang anak kecil ini ternyata benar. Tuhan memang ada di atas (langit) yaitu di ‘arsy –hal ini sekaligus membantah pendapat yang mengatakan Tuhan berada di mana-mana.
Sebenarnya, Tuhan berada di atas, di luar lingkaran langit yang kita kenal yaitu langit pertama sampai langit ketujuh. Sebab, ‘arsy merupakan makhluk Tuhan yang paling besar (QS. An-Nahl: 26) dan paling tinggi, melampaui surga firdaus dan sidratul muntaha yang pernah dijamah oleh
Nabi Muhammad Saw. saat isra mikraj. Nabi Saw. bersabda, "Kalau kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah Firdaus, karena sesungguhnya dia adalah surga yang paling tinggi dan paling tengah, dan atapnya adalah ‘Arsy Allah Yang Rahman."(HR. Bukhari)
Menurut Ibnu Mas’ud, “Antara langit yang paling bawah dengan langit berikutnya jaraknya 500 tahun, dan di antara setiap langit jaraknya 500 tahun; antara langit yang ketujuh dengan kursi jaraknya 500 tahun; dan antara kursi dan samudra air jaraknya 500 tahun; sedang ‘arsy berada di atas samudra air itu; dan Allah berada di atas ‘arsy tersebut, tidak tersembunyi bagi Allah sesuatu apapun dari perbuatan kamu sekalian.”
Ini menunjukkan betapa besar dan tingginya ‘arsy itu. Dari ‘arsy inilah Tuhan mengatur seluruh kehidupan makhluk-Nya, “Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan.” (QS. Yunus [10]: 3). Tetapi, kenapa Tuhan harus butuh tempat? Bukankah Tuhan itu Dzat yang tak teraba, sedang tempat berarti sesuatu yang fisicly (terlihat)? Begitu istimewakah ‘arsy, sehingga Tuhan harus berada di sana untuk mengatur seluruh roda kehidupan makhluk-Nya?
‘Arsy adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya – ya‘risyu – ‘arsyan yang berarti “bangunan”, “singgasana”, “istana” atau “tahta”. Di dalam al-Qur’an, kata ‘arsy dan kata yang seasal dengan itu disebut 33 kali.
Ulama berbeda pendapat tentang hakekat ‘arsy. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa ‘arsy merupakan ”pusat pengendalian segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta”. Penjelasan Rasyid Ridha itu antara lain didasarkan pada QS. Yunus (10): 3, “Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan.”
Jalaluddin as-Suyuthi (pengarang tafsir Ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur) menjelaskan, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Wahhab ibnu Munabbih bahwa Allah Swt. menciptakan ‘arsy dan kursi (kedudukan) dari cahaya-Nya. ‘Arsy itu melekat pada kursi. Para malaikat berada di tengah-tengah kursi tersebut.
‘Arsy dikelilingi oleh empat buah sungai, yaitu: 1) sungai yang berisi cahaya yang berkilauan; 2) sungai yang bermuatan salju putih berkilauan; 3) sungai yang penuh dengan air; dan 4) sungai yang berisi api yang menyala kemerahan. Para malaikat berdiri di setiap sungai tersebut sambil bertasbih kepada Allah Swt. Di ‘arsy juga terdapat lisan (bahasa) sebanyak bahasa makhluk di alam semesta. Setiap lisan bertasbih kepada Allah Swt. berdasarkan bahasa masing-masing.
Sedangkan Abu asy-Syaikh berpendapat bahwa ‘arsy itu diciptakan dari permata zamrud hijau, sedangkan tiang-tiang penopangnya dibuat dari permata yakut merah. Di ‘arsy terdapat ribuan lisan (bahasa), sementara di bumi Allah menciptakan ribuan umat. Setiap umat bertasbih kepada Allah dengan bahasa ‘arsy. Pendapat ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw. yang diterima Abu asy-Syaikh dari Hammad.
Lebih lanjut tentang asal-usul penciptaan ‘arsy, Abu asy-Syaikh juga meriwayatkan hadis dari asy-Sya‘bi yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “’Arsy itu terbuat dari batu permata yakut merah. Kemudian, satu malaikat memandang kepada ‘arsy dengan segala keagungan yang dimilikinya”. Lalu, Allah Swt. berfirman kepada malaikat tersebut,
“Sesungguhnya Aku telah menjadikan engkau memiliki kekuatan yang sebanding dengan kekuatan 7.000 malaikat. Malaikat itu dianugerahi 70.000 sayap. Kemudian, Allah menyuruh malaikat itu terbang. Malaikat itu pun terbang dengan kekuatan dan sayap yang diberikan Allah ke arah mana saja yang dikehendaki Allah. Sesudah itu, malaikat tersebut berhenti dan memandang ke arah ‘arsy. Akan tetapi, ia merasakan seolah-olah ia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya terbang semula. Hal ini memperlihatkan betapa besar dan luasnya ‘arsy Allah itu.”
Gambaran fisik ‘arsy merupakan hal yang gaib, yang tak seorang pun mampu mengetahuinya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas di dalam riwayat Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abbas berkata, “Tidak akan ada yang mampu mengetahui berapa besar ukuran ‘arsy, kecuali penciptanya semata-mata. Langit yang luas ini jika dibandingkan dengan luas ‘arsy sama dengan perbandingan di antara luas sebuah kubah dan luas padang sahara.”
Meski ‘arsy tidak bisa diukur, tapi ia tetap berbatas dan ada garis akhirnya. Sebab, ia juga merupakan makhluk Allah. Bagaimana kita bisa tahu kalau bumi ini berbatas dan ada garis akhirnya? Karena kita bisa melihatnya dari luar bumi yaitu ketika kita berada di langit.
Begitupun, kita akan bisa mengukur batas akhir langit jika kita bisa keluar dari lingkaran langit. Tapi, kita pasti tidak akan mampu melakukannya. Karena Nabi Saw. sendiri saat isra mikraj masih berada dalam lingkaran langit. Apalagi, kita mengetahui ukuran ‘arsy. Tapi, kita yakin bahwa ‘arsy pun berbatas seperti halnya bumi dan langit.
Di dalam perbincangan ulama kalam (teolog Islam) persoalan ‘arsy merupakan topik yang kontroversial. Para ulama tersebut memperdebatkan apakah ‘arsy itu sesuatu yang bersifat nonfisik atau fisik. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat;
Pertama, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kata ‘arsy di dalam al-Quran harus dipahami sebagai makna metaforis (majazi). Jika dikatakan Tuhan bersemayam di ‘arsy, maka arti ‘arsy di sini adalah kemahakuasaan Tuhan. Tuhan merupakan zat yang nonfisik, karenanya mustahil Dia berada pada tempat yang bersifat fisik.
Kedua, golongan Mujassimah atau golongan yang berpaham antropomorfisme. Pendapat golongan ini bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut mereka, kata ‘arsy harus dipahami sebagaimana adanya. Karena itu, mereka mengartikan ‘arsy sebagai sesuatu yang yang bersifat fisik atau material.
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ‘arsy dalam arti tahta atau singgasana harus diyakini keberadaannya, karena al-Quran sendiri mengartikan demikian. Akan tetapi, bagaimana wujud tahta atau singgasana Tuhan itu hanya Dia sendiri yang tahu. Akal manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahuinya. Pendapat ini diyakini oleh golongan Asy‘ariyah.
Terlepas dari berbagai pendapat mengenai hakekat ‘arsy, yang jelas, makhluk Tuhan yang satu ini merupakan tempat Tuhan untuk mengatur segala kehidupan yang ada di bumi dan langit. Allah mengontrol segala hajat manusia di bumi dan planet di langit dari ‘arsy ini. Allah memerintahkan malaikat untuk menemui Muhammad dan sebagainya dari ‘arsy ini. Sebab, ‘arsy merupakan tempat Tuhan. Tuhan adalah Raja dari segala raja. Seperti halnya raja, maka istana kerajaan Tuhan adalah ‘arsy itu.
Tetapi, bersemayamnya Tuhan janganlah disamakan dengan bersemayamnya manusia. Inilah persoalan pelik tentang Tuhan bersemayam di atas ‘arsy yang tidak diketahui oleh manusia. Yang jelas, menurut Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid, “Wajib diketahui bahwa sesungguhnya Dia Yang Maha Tinggi dengan kesempurnaan ketinggian-Nya dan kesempurnaan keagungan-Nya tidak memungkinkan untuk menetap di sesuatupun dari makhluk-Nya. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di surga, tetapi Dia di atas ‘arsy yang merupakan atap Firdaus, sedangkan Firdaus adalah surga yang paling tinggi.”
Menurut Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin, Tuhan berada di ‘arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya, Allah menciptakan ‘arsy untuk bersemayam di atasnya. Allah Maha Kaya, yang tidak membutuhkan apapun.”
Maha Suci Allah!
Eep Khunaefi
Minggu, November 25, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
"Laisa Kamitslihi Syai`un wa Huwas Samii'ul Bashiir."
Istiwa` Allah di atas Arsy. Istiwa` secara bahasa artinya bersemayam, atau duduk.
Pantaskah Allah duduk..
"Subhaanallahi 'ammaa yashifuun.."
Istiwa` tidak bisa ditafsirkan dengan makna tersebut..jika dinisbahkan kepada Allah. karena makna tersebut bertentangan dengan ayat di atas.
Kata semayam sendiri dalam bahasa Indonesia artinya duduk.
Padahal Allah menciptakan akal kita untuk menyelamatkan kita dari kekeliruan dalam membedakan mana yg lebih utama, mana yg tidak pantas, dan mana yang pantas.
Maka itu, kata Istiwa` dalam al-Qur`an pun banyak diperdebatkan oleh kalangan ulama akidah..
Alangkah baiknya kita mengikuti perkataan ulama yang memaknai istiwa` dengan berkuasa, menguasai, dsb.
Karena itu lebih pantas untuk Allah.
Memang benar, jika dikatakan "Allah menguasai Arsy" Dia pun menguasai seluruh alam ini. namun, Arsy adalah mkhaluk paling besar. Arsy diciptakan bukan dimaksudkan sebagai tempat semayam Allah, layaknya yg dipahami akal manusia, melainkan untuk menunjukkan keagungan-Nya.
Allah tidak bertempat, tidak juga di mana-mana.
Allah itu ada, dan tidak memerlukan tempat. karena "Laisa kamitslihi Syai`un wa huwas Samii'ul Bashiir."
Kita tidak akan mampu menangkap Dzat-Nya yang terlalu besar dan mulia untuk ditimbang oleh akal, sementara akal kita sangat amat kecil.
Akan lebih selamat lagi jika kita menyerahkan makna istiwa` sesungguhnya kepada Allah. kerena Dia lebih tahu tentang sifat-sifat-Nya.
Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah.. janganlah kalian memikirkan Dzat-Nya, karena kalian tidak akan mampu..
wallahu a'lam bi muraadihi.
Saya setuju dengan pendapat Anda, Mas Imigran. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba-Nya yg bertakwa.Amien!
Posting Komentar