“Entahlah, jika temanku tidak pernah memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan, mungkin aku akan tersesat selamanya. Sebab, melalui al-Qur’an inilah aku menemukan setetes hidayah yang aku cari selama ini. Di sini akhirnya aku temukan sebuah kebenaran bahwa Isa bukanlah Tuhan, tapi hanya seorang Nabi.”
Demikian pengakuan Ahmad Beben, laki-laki keturunan Tionghoa yang kemudian masuk Islam setelah membaca al-Qur’an terjemahan pemberian sahabatnya. Kepada Hidayah, laki-laki berkacamata pemilik nama asli Bernard Juniardi ini pun bicara blak-blakan seputar perjalanan hidupnya menjadi seorang Muslim yang penuh lika-liku, termasuk dirinya yang nyaris diusir kedua orang tuanya.
Yesus Hanya Seorang Nabi, Bukan Tuhan
Aku lahir di Jakarta, 11 Juni 1973. Aku tidak memiliki nama Tionghoa karena kedua orang tuaku sudah memberikan nama khas Indonesia sejak lahir yaitu Bernard Juniardi. Nama depanku sekilas agak kebarat-baratan, tetapi aku bangga dengan nama ini. Ada beberapa alasan kenapa kedua orang tuaku tidak memberikan nama Tionghoa, padahal aku murni keturunan warga bermata sipit itu.
Pertama, aku lahir pada situasi di mana orang yang memiliki nama Tionghoa harus diganti dengan nama Indonesia atau nama lainnya. Kedua orang tuaku berpikir, orang yang sudah punya nama Tionghoa saja harus diganti dengan nama selainnya, apalagi anak yang baru dilahirkannya yaitu aku. Akhirnya, kedua orang tua pun memberikan nama Bernard Juniardi, yang jelas tidak ada kemiripan sama sekali dengan nama Tionghoa.
Kedua, agar aku bisa membaur dengan orang-orang lokal. Dengan nama Indonesia, kelak aku diharapkan bisa mudah berbaur dengan orang-orang di tempat aku dilahirkan. Agar kesan aku sebagai seorang Tionghoa tidak diusik karena aku juga memiliki nama Indonesia.
Sehari-hari aku dipanggil Beben. Sejak kecil aku menganut agama Katolik Roma, bukan agama nenek moyang yaitu Tionghoa. Agak aneh, memang. Tetapi, begitulah kenyataannya. Karena itu, sejak kecil aku pun diberikan bimbingan dan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Katolik. Aku diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan, bukan seorang Nabi. Aku juga diajarkan bahwa Yesus telah meninggal dunia sebagai bentuk pengorbanannya kepada umat manusia. Yang lebih mengerikan lagi, aku didoktrin sebuah citra negatif tentang agama Islam yang suka pada kekerasan dan sebagainya.
Pemahamanku tentang konsep ketuhanan Yesus dalam ajaran Katolik Roma ini terus kubawa sampai usia 27 tahun, tepatnya tahun 2000. Pada tahun ini, aku mengalami sebuah momen sejarah yang paling penting dalam hidupku. Hatiku seperti tercabik-cabik oleh sebuah kenyataan yang nyaris tidak kupercayai sebelumnya. Aku menemukan fakta bahwa Yesus ternyata bukanlah Tuhan, tapi hanya seorang Nabi.
Awalnya, seorang sahabat memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan. Bagiku, kitab suci ini tidaklah begitu asing. Karena itu, aku menerimanya dengan lapang dada. Meski begitu, kadang hati kecilku selalu bertanya-tanya, kenapa aku harus menerima pemberian temanku itu padahal aku beragama Katolik.
Mungkin inilah yang dinamakan takdir! Aku lalu membaca al-Qur’an terjemahan tersebut mulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa dan seterusnya. Aku baca perlahan-lahan penuh konsentrasi. Tidak ada yang mampu menggugah perasaanku saat membacanya. Semuanya sama seperti aku membaca buku-buku lainnya atau saat aku membaca Injil, kitab pegangan aku sendiri.
Surat Maryam Menggugah Keyakinanku
Tetapi, keanehan kemudian menghinggap perasaan dan pikiranku tatkala bacaanku sampai pada Surat Maryam. Tidak pernah kusadari, aku menemukan sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, tapi hanyalah seorang Nabi. Pengetahuan semacam ini jelas saja membredel keyakinanku selama ini yang mengklaim bahwa Isa adalah Tuhan.
Beberapa saat aku tercenung memikirkan ayat tersebut. Benarkah yang ditulis oleh al-Qur’an itu! Apakah yang diajarkan oleh Injil selama ini adalah salah? Sejuta pertanyaan menggelanyut dalam pikiranku kala itu. Aku nyaris tidak bisa tidur memikirkannya. Aku stress berat.
Lalu aku tanyakan mengenai hal ini pada pendeta dan pastur. Apakah benar Yesus itu adalah Tuhan? Mereka ternyata tidak bisa menjawab. Andai pun mereka menjawab, tetapi alasan-alasan yang mereka kemukakan tetap tidak rasional atau tidak masuk akal. Ironinya, kenapa hal ini baru aku rasakan sekarang setelah membaca al-Qur’an? Kenapa dari dulu aku tidak pernah meragukannya?
Tidak itu saja, aku pun mulai bertanya pada pendeta dan pastur itu mengenai kematian Yesus. Benarkah Yesus itu sudah meninggal? Jika ya, kenapa beberapa ilmuwan saat menggali kuburnya tidak ditemukan jasadnya? Mereka pun tidak bisa menjawab. Begitu pula saat aku menanyakan pada mereka mengenai konsep trinitas, mereka tetap tidak bisa menjawab.
Mereka sendiri kehilangan akal untuk menjawab kenapa Tuhan itu ada tiga?
Keadaan ini akhirnya membuatku bimbang. Aku seperti berada di ruang hampa yang tak berpenghuni dan sepi. Terus terang, sejak itu aku mulai malas pergi ke gereja, sebuah aktivitas yang sebenarnya sering aku lakukan sebelumnya. Aku sudah mulai ragu dengan ajaran agamaku sendiri. Kenapa orang-orang yang aku anggap pintar dalam soal agama tidak bisa menjawab persoalan-persoalan di atas? Apakah mereka yang bodoh ataukah ajaran-ajaran yang ada dalam Kitab Injil sendiri yang tidak rasional, yang tidak ada jawabannya?
Akhirnya aku memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai al-Qur’an dan Injil. Selama dua tahun aku mendalami kedua kitab tersebut, akhirnya kutemukan sebuah kesimpulan bahwa apa yang dikatakan al-Qur’an semuanya adalah benar. Sebaliknya, yang dikatakan Injil banyak kesalahannya. Karena itu, banyak sekali dalam kitab Injil ditemukan perbedaan. Makanya, ada Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru dan sebagainya.
Satu hal pula yang membuatku yakin pada al-Qur’an adalah bahwa di mana pun aku menemukan al-Qur’an, pasti tidak ada teks atau bacaan yang berbeda satu sama lain. Ini memberikan gambaran padaku bahwa kitab suci ini pasti ada yang menjaganya. Setelah kurenungi lebih dalam, pasti semua ini ada campur tangan Allah yaitu Tuhannya orang Islam. Kepastian mengenai hal ini pun akhirnya kutemukan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan Kami pula yang Menjaganya.”
Sebaliknya, Injil yang sekarang ini sudah mengalami perubahan karena ulah Paulus dan Raja Constantine, Raja Romawi. Kedua orang inilah yang merusak kitab Injil jauh dari aslinya. Bahasa asli kitab Injil yaitu bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Romawi, semaunya sendiri sehingga banyak mengalami perubahan dari teks aslinya. Pada perkembangannya, Injil tersebut diterjemahkan kembali dengan bahasa-bahasa lainnya. Karena itu, kita menemukan banyak kitab Injil yang satu sama lain isinya berbeda-beda. Sedang al-Qur’an dari dulu hingga sekarang selalu menggunakan bahasa Arab. Ini menggambarkan bahwa Kitab Injil tidak dijaga Allah, sedangkan al-Qur’an dijaga oleh-Nya.
Saat kutanyakan pada pendeta dan pastur, di manakah Kitab Injil asli yang berbahasa Ibrani, mereka tidak bisa menjawabnya. Dari sini saja, sebenarnya kita mafhum bahwa Kitab Injil yang sekarang telah mengalami reduksional yang hebat, yang keluar dari teks aslinya.
Satu hal lagi, setelah kudalami al-Qur’an akhirnya kutemukan bahwa Yesus itu ternyata tidak meninggal. Ia diangkat oleh Allah ke atas langit dan suatu saat pasti akan diturunkan kembali. Konsep ini jelas sekali berbeda dengan keyakinan umat Katolik di mana Yesus meninggal karena dibunuh. Tapi, ketika disuruh untuk membuktikan jasadnya, mereka tidak bisa melakukannya. Karena sebenarnya yang dibunuh itu adalah orang yang diserupakan wajahnya dengan Yesus atau Nabi Isa.
Dari sini aku semakin paham, mana kitab suci yang benar dan mana pula kitab suci yang salah? Apalagi, di dalam al-Qur’an akhirnya kutemukan bahwa “Sesungguhnya agama yang paling diridhai di sisi Allah adalah agama Islam.” Dengan begitu, otomatis kitab yang paling benar adalah kitab al-Qur’an.
Pada tahun 2001 akhirnya aku putuskan untuk mempelajari agama Islam lebih mendalam. Aku masuk Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Cinere, Depok. Aku dibantu oleh orang-orang Departemen Agama di situ. Setelah yakin, pada 1 Ramadhan 1422 H (2002), akhirnya aku memutuskan untuk masuk Islam. Aku mengucap syahadat di Masjid Raya Bambu Apus, Ciputat, Tangerang disaksikan oleh KH. Ato’ Muzar Munawar dan KH. Muhammad Sidiq Umari serta para staf Departemen Agama.
Pada hari pertama Ramadhan itu pula aku mulai berpuasa dan shalat tarawih. Alhamdulillah, sebulan penuh aku bisa menjalankannya. Sebab, sebelum aku masuk Islam dan tinggal di pesantren aku sudah dilatih berpuasa dan zikir dulu oleh pak kiayi. Karena itu, saat aku masuk Islam pada hari pertama bulan Ramadhan, hari itu juga aku bisa menunaikan ibadah puasa sampai sebulan penuh.
Bagaimana reaksi kedua orang ketika mendengar aku masuk Islam? Saat mendengar aku masuk Islam, aku nyaris diusir kedua orang tua dan nenekku. Aku sempat berkelahi dengan bapakku. Untungnya, Allah masih menolongku sehingga mereka akhirnya mengurungkan niat untuk mengusirku. Sebab, meski bagaimana pun aku adalah anak mereka dan salah seorang anggota keluarga mereka.
Kini, namaku sudah berubah menjadi Ahmad Beben. Nama Ahmad sendiri merupakan pemberian KH. Muhammad Sidiq Umari, sedang Beben adalah nama kecilku. Aku ingin melekatkan nama Islam dan nama masa laluku juga. Aku pun menjadi manusia baru. Aku seperti bayi yang baru lahir lagi.
Setelah masuk Islam, di Masjid Raya Bambu Apus itu langsung kutegaskan pada jamaah bahwa aku masuk Islam tidak untuk main-main. Aku ingin mati dalam keadaan Islam. Aku ingin berdakwah menegakkan agama Islam sampai titik darah penghabisan. Bahkan, kalau bisa, aku meninggal di dalam masjid sebagai mujahid, sebagai orang yang sedang berdakwah.
Dua Sisi Mata Uang
Kini, setelah aku menjadi seorang Muslim banyak sekali kutemukan kedamaian di sini. Emosiku semakin terkontrol, yang sebelumnya mudah meledak-ledak. Aku semakin sabar menghadapi persoalan apapun, yang sebelumnya hampir sulit kulakukan.
Hal yang paling membahagiakan, Islam telah merubah perilaku burukku selama ini. Dulu, saat masih Kristiani, aku adalah seorang pemabuk. Kuhabiskan banyak waktu hanya dengan minum-minuman keras. Aku juga suka berjudi. Uangku habis hanya karena persoalan yang satu ini. Pada saat itu aku merasa, mabuk dan judi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tanpa keduanya, maka tanpa pula diriku.
Islam lalu merubah seluruh perilaku burukku itu. Aku tidak saja sadar bahwa mabuk dan judi merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan dosanya besar. Tapi, aku juga semakin menyadari bahwa keduanya sama sekali tidak pernah berguna bagi diriku. Yang ada, hanyalah semakin membuat tubuhku rusak dan hidupku berantakan.
Islam pula yang kemudian membuat hidupku semakin terarah. Aku seperti punya masa depan yang cerah di depan. Hidupku semakin tertata rapih. Ada rencana dan konsep yang jelas. Aku sendiri tidak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi setelah aku masuk Islam. Yang jelas, Islam benar-benar telah merubah hidupku. Aku semakin damai dan tenang.
Mungkinkah ini berkat shalat, puasa dan zikir yang kulakukan setelah masuk Islam! Setelah kupahami lebih dalam, semua ini ada benarnya. Dalam shalat, puasa dan zikir kutemukan bagaimana caranya berkonsentrasi dan berkontemplasi. Akhirnya, kutemukan ketenangan dan kedamaian.
Hanya saja kadang aku berpikir, apakah aku tidak dikatakan terlambat untuk masuk Islam di usia 29 tahun? Bila mengingatnya, terutama setiap kali datang satu ramadhan, aku kadang menangis. Tapi, di sisi lain aku juga bahagia. Aku berpikir, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Begitulah diriku setelah masuk Islam. Pasti ada sisi baik dan buruk yang kualami.
Salah satu resiko yang kuterima setelah masuk Islam adalah aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja. Aku dianggap berani melawan pimpinan. Padahal, pada saat itu aku hanya berusaha mengatakan yang sebenarnya. Ceritanya, aku dan teman-temanku berniat shalat Jum’at, tapi dilarang oleh pimpinan. Aku tetap memaksanya. Bahkan, mengompori teman-teman untuk tetap melakukannya.
Usai shalat Jum’at, aku didatangi oleh pimpinan. Ia murka kepadaku. Ia mengomeliku karena dianggap berani melawan kebijakan perusahaan. Tapi, aku bilang padanya bahwa apa yang aku lakukan semata-mata kewajibanku sebagai seorang Muslim. Shalat itu merupakan perintah Tuhan. Hal ini kukatakan padanya secara gamblang. Tetapi, ia terus mengomeliku. Tidak ada kata ampun lagi, aku pun bilang pada pimpinanku itu bahwa ia seorang kafir. Aku lepas kontrol saat itu, karena ia benar-benar tidak menghargai diriku yang seorang Muslim dan juga teman-temanku yang lain.
Usai kejadian itu, tiga bulan kemudian aku dipecat oleh perusahaan setelah aku bekerja selama setahun setengah. Aku tidak menyesal atas apa yang aku perbuat itu. Aku pikir ini sudah menjadi resiko atas keislamanku bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pasti ada sisi baik dan buruk atas segala sikap yang diambil. Bagiku, ini hanyalah kericil-kericil kecil yang bisa kusingkirkan dan kuatasi. Di depan, ujiannya mungkin jauh lebih besar.
Tidak itu saja, aku juga dijauhi oleh teman-teman Kristianiku. Mereka menarik diri dari pergaulan bersamaku. Bagiku, ini sama sekali tidak masalah. Toh, aku juga punya kawan baru yaitu orang-orang Muslim, yang tentu jauh lebih mengerti dan menyadari keadaanku.
Aku juga ada gap dengan kedua orang tua, nenek dan adik-adikku. Sekali lagi, ini adalah resiko yang harus aku tanggung atas keislamanku. Aku tidak akan menarik kakiku untuk kembali ke belakang. Aku harus melangkah ke depan. Di depan masih banyak hal yang perlu kupikirkan dan kulakukan dibandingkan hanya memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
Kini, kegiatanku adalah berdakwah dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku dakwahkan apa yang bisa kulakukan. Keterbatasan pengetahuanku tentang agama Islam, tidak menyurutanku untuk berhenti berdakwah. Ini jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Bahkan, aku ingin meninggal di dalam masjid dalam keadaan berdakwah.
Kini, sudah enam tahun berlalu aku menjadi seorang muallaf. Selama itu pula aku selalu menanamkan citra positif tentang Islam pada orang-orang non-Islam. Inilah dakwah penting yang harus dilakukan oleh umat Islam. Sebab, selama ini mereka cenderung berpikir negatif tentang Islam. Akibatnya, mereka takut pada orang Islam. Pada akhirnya, orang Islam pun dijauhi.
Setiap kali aku berdakwah, selalu kusampaikan hal ini yaitu bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Kepada ibuku dan adikku yang kini masih hidup, tak pernah jera kusampaikan mengenai kelembutan dan kedamaian Islam ini. Hanya saja, mereka rupanya belum mendapatkan hidayah dari Allah. Mereka masih phobia terhadap Islam. Tapi, aku tak pernah jera untuk membuat ibu dan adik-adikku mengerti bahwa agama yang kupeluk sekarang ini adalah agama yang paling benar di sisi Allah. Ayahku sendiri telah wafat tahun 2006, sedang nenekku setahun sebelumnya.
Satu hal yang selalu kutanamkan dalam pikiranku bahwa aku tidak boleh takut pada ancaman apapun yang membahayakan keselamatanku. Aku tetap akan bicara lantang tentang kebenaran Islam. Sebaliknya, aku akan blak-blakan bicara tentang kekeliruan ajaran Kristen. Aku sedikit keras dalam hal ini dan mungkin beresiko bagi keselamatanku. Tapi, ini adalah resiko yang harus kuambil sebagai bagian dari dakwah dan perjuangan menegakkan kalimat-kalimat Allah. Aku ikhlas jika seandainya harus mendapatkan ajalku dalam perjalanan dakwah. Justru inilah yang harus kucari yaitu keridhaan Allah SWT. Amien. (Eep Khunaefi/dimuat di Hidayah edisi 87)
Demikian pengakuan Ahmad Beben, laki-laki keturunan Tionghoa yang kemudian masuk Islam setelah membaca al-Qur’an terjemahan pemberian sahabatnya. Kepada Hidayah, laki-laki berkacamata pemilik nama asli Bernard Juniardi ini pun bicara blak-blakan seputar perjalanan hidupnya menjadi seorang Muslim yang penuh lika-liku, termasuk dirinya yang nyaris diusir kedua orang tuanya.
Yesus Hanya Seorang Nabi, Bukan Tuhan
Aku lahir di Jakarta, 11 Juni 1973. Aku tidak memiliki nama Tionghoa karena kedua orang tuaku sudah memberikan nama khas Indonesia sejak lahir yaitu Bernard Juniardi. Nama depanku sekilas agak kebarat-baratan, tetapi aku bangga dengan nama ini. Ada beberapa alasan kenapa kedua orang tuaku tidak memberikan nama Tionghoa, padahal aku murni keturunan warga bermata sipit itu.
Pertama, aku lahir pada situasi di mana orang yang memiliki nama Tionghoa harus diganti dengan nama Indonesia atau nama lainnya. Kedua orang tuaku berpikir, orang yang sudah punya nama Tionghoa saja harus diganti dengan nama selainnya, apalagi anak yang baru dilahirkannya yaitu aku. Akhirnya, kedua orang tua pun memberikan nama Bernard Juniardi, yang jelas tidak ada kemiripan sama sekali dengan nama Tionghoa.
Kedua, agar aku bisa membaur dengan orang-orang lokal. Dengan nama Indonesia, kelak aku diharapkan bisa mudah berbaur dengan orang-orang di tempat aku dilahirkan. Agar kesan aku sebagai seorang Tionghoa tidak diusik karena aku juga memiliki nama Indonesia.
Sehari-hari aku dipanggil Beben. Sejak kecil aku menganut agama Katolik Roma, bukan agama nenek moyang yaitu Tionghoa. Agak aneh, memang. Tetapi, begitulah kenyataannya. Karena itu, sejak kecil aku pun diberikan bimbingan dan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Katolik. Aku diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan, bukan seorang Nabi. Aku juga diajarkan bahwa Yesus telah meninggal dunia sebagai bentuk pengorbanannya kepada umat manusia. Yang lebih mengerikan lagi, aku didoktrin sebuah citra negatif tentang agama Islam yang suka pada kekerasan dan sebagainya.
Pemahamanku tentang konsep ketuhanan Yesus dalam ajaran Katolik Roma ini terus kubawa sampai usia 27 tahun, tepatnya tahun 2000. Pada tahun ini, aku mengalami sebuah momen sejarah yang paling penting dalam hidupku. Hatiku seperti tercabik-cabik oleh sebuah kenyataan yang nyaris tidak kupercayai sebelumnya. Aku menemukan fakta bahwa Yesus ternyata bukanlah Tuhan, tapi hanya seorang Nabi.
Awalnya, seorang sahabat memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan. Bagiku, kitab suci ini tidaklah begitu asing. Karena itu, aku menerimanya dengan lapang dada. Meski begitu, kadang hati kecilku selalu bertanya-tanya, kenapa aku harus menerima pemberian temanku itu padahal aku beragama Katolik.
Mungkin inilah yang dinamakan takdir! Aku lalu membaca al-Qur’an terjemahan tersebut mulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa dan seterusnya. Aku baca perlahan-lahan penuh konsentrasi. Tidak ada yang mampu menggugah perasaanku saat membacanya. Semuanya sama seperti aku membaca buku-buku lainnya atau saat aku membaca Injil, kitab pegangan aku sendiri.
Surat Maryam Menggugah Keyakinanku
Tetapi, keanehan kemudian menghinggap perasaan dan pikiranku tatkala bacaanku sampai pada Surat Maryam. Tidak pernah kusadari, aku menemukan sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, tapi hanyalah seorang Nabi. Pengetahuan semacam ini jelas saja membredel keyakinanku selama ini yang mengklaim bahwa Isa adalah Tuhan.
Beberapa saat aku tercenung memikirkan ayat tersebut. Benarkah yang ditulis oleh al-Qur’an itu! Apakah yang diajarkan oleh Injil selama ini adalah salah? Sejuta pertanyaan menggelanyut dalam pikiranku kala itu. Aku nyaris tidak bisa tidur memikirkannya. Aku stress berat.
Lalu aku tanyakan mengenai hal ini pada pendeta dan pastur. Apakah benar Yesus itu adalah Tuhan? Mereka ternyata tidak bisa menjawab. Andai pun mereka menjawab, tetapi alasan-alasan yang mereka kemukakan tetap tidak rasional atau tidak masuk akal. Ironinya, kenapa hal ini baru aku rasakan sekarang setelah membaca al-Qur’an? Kenapa dari dulu aku tidak pernah meragukannya?
Tidak itu saja, aku pun mulai bertanya pada pendeta dan pastur itu mengenai kematian Yesus. Benarkah Yesus itu sudah meninggal? Jika ya, kenapa beberapa ilmuwan saat menggali kuburnya tidak ditemukan jasadnya? Mereka pun tidak bisa menjawab. Begitu pula saat aku menanyakan pada mereka mengenai konsep trinitas, mereka tetap tidak bisa menjawab.
Mereka sendiri kehilangan akal untuk menjawab kenapa Tuhan itu ada tiga?
Keadaan ini akhirnya membuatku bimbang. Aku seperti berada di ruang hampa yang tak berpenghuni dan sepi. Terus terang, sejak itu aku mulai malas pergi ke gereja, sebuah aktivitas yang sebenarnya sering aku lakukan sebelumnya. Aku sudah mulai ragu dengan ajaran agamaku sendiri. Kenapa orang-orang yang aku anggap pintar dalam soal agama tidak bisa menjawab persoalan-persoalan di atas? Apakah mereka yang bodoh ataukah ajaran-ajaran yang ada dalam Kitab Injil sendiri yang tidak rasional, yang tidak ada jawabannya?
Akhirnya aku memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai al-Qur’an dan Injil. Selama dua tahun aku mendalami kedua kitab tersebut, akhirnya kutemukan sebuah kesimpulan bahwa apa yang dikatakan al-Qur’an semuanya adalah benar. Sebaliknya, yang dikatakan Injil banyak kesalahannya. Karena itu, banyak sekali dalam kitab Injil ditemukan perbedaan. Makanya, ada Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru dan sebagainya.
Satu hal pula yang membuatku yakin pada al-Qur’an adalah bahwa di mana pun aku menemukan al-Qur’an, pasti tidak ada teks atau bacaan yang berbeda satu sama lain. Ini memberikan gambaran padaku bahwa kitab suci ini pasti ada yang menjaganya. Setelah kurenungi lebih dalam, pasti semua ini ada campur tangan Allah yaitu Tuhannya orang Islam. Kepastian mengenai hal ini pun akhirnya kutemukan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan Kami pula yang Menjaganya.”
Sebaliknya, Injil yang sekarang ini sudah mengalami perubahan karena ulah Paulus dan Raja Constantine, Raja Romawi. Kedua orang inilah yang merusak kitab Injil jauh dari aslinya. Bahasa asli kitab Injil yaitu bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Romawi, semaunya sendiri sehingga banyak mengalami perubahan dari teks aslinya. Pada perkembangannya, Injil tersebut diterjemahkan kembali dengan bahasa-bahasa lainnya. Karena itu, kita menemukan banyak kitab Injil yang satu sama lain isinya berbeda-beda. Sedang al-Qur’an dari dulu hingga sekarang selalu menggunakan bahasa Arab. Ini menggambarkan bahwa Kitab Injil tidak dijaga Allah, sedangkan al-Qur’an dijaga oleh-Nya.
Saat kutanyakan pada pendeta dan pastur, di manakah Kitab Injil asli yang berbahasa Ibrani, mereka tidak bisa menjawabnya. Dari sini saja, sebenarnya kita mafhum bahwa Kitab Injil yang sekarang telah mengalami reduksional yang hebat, yang keluar dari teks aslinya.
Satu hal lagi, setelah kudalami al-Qur’an akhirnya kutemukan bahwa Yesus itu ternyata tidak meninggal. Ia diangkat oleh Allah ke atas langit dan suatu saat pasti akan diturunkan kembali. Konsep ini jelas sekali berbeda dengan keyakinan umat Katolik di mana Yesus meninggal karena dibunuh. Tapi, ketika disuruh untuk membuktikan jasadnya, mereka tidak bisa melakukannya. Karena sebenarnya yang dibunuh itu adalah orang yang diserupakan wajahnya dengan Yesus atau Nabi Isa.
Dari sini aku semakin paham, mana kitab suci yang benar dan mana pula kitab suci yang salah? Apalagi, di dalam al-Qur’an akhirnya kutemukan bahwa “Sesungguhnya agama yang paling diridhai di sisi Allah adalah agama Islam.” Dengan begitu, otomatis kitab yang paling benar adalah kitab al-Qur’an.
Pada tahun 2001 akhirnya aku putuskan untuk mempelajari agama Islam lebih mendalam. Aku masuk Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Cinere, Depok. Aku dibantu oleh orang-orang Departemen Agama di situ. Setelah yakin, pada 1 Ramadhan 1422 H (2002), akhirnya aku memutuskan untuk masuk Islam. Aku mengucap syahadat di Masjid Raya Bambu Apus, Ciputat, Tangerang disaksikan oleh KH. Ato’ Muzar Munawar dan KH. Muhammad Sidiq Umari serta para staf Departemen Agama.
Pada hari pertama Ramadhan itu pula aku mulai berpuasa dan shalat tarawih. Alhamdulillah, sebulan penuh aku bisa menjalankannya. Sebab, sebelum aku masuk Islam dan tinggal di pesantren aku sudah dilatih berpuasa dan zikir dulu oleh pak kiayi. Karena itu, saat aku masuk Islam pada hari pertama bulan Ramadhan, hari itu juga aku bisa menunaikan ibadah puasa sampai sebulan penuh.
Bagaimana reaksi kedua orang ketika mendengar aku masuk Islam? Saat mendengar aku masuk Islam, aku nyaris diusir kedua orang tua dan nenekku. Aku sempat berkelahi dengan bapakku. Untungnya, Allah masih menolongku sehingga mereka akhirnya mengurungkan niat untuk mengusirku. Sebab, meski bagaimana pun aku adalah anak mereka dan salah seorang anggota keluarga mereka.
Kini, namaku sudah berubah menjadi Ahmad Beben. Nama Ahmad sendiri merupakan pemberian KH. Muhammad Sidiq Umari, sedang Beben adalah nama kecilku. Aku ingin melekatkan nama Islam dan nama masa laluku juga. Aku pun menjadi manusia baru. Aku seperti bayi yang baru lahir lagi.
Setelah masuk Islam, di Masjid Raya Bambu Apus itu langsung kutegaskan pada jamaah bahwa aku masuk Islam tidak untuk main-main. Aku ingin mati dalam keadaan Islam. Aku ingin berdakwah menegakkan agama Islam sampai titik darah penghabisan. Bahkan, kalau bisa, aku meninggal di dalam masjid sebagai mujahid, sebagai orang yang sedang berdakwah.
Dua Sisi Mata Uang
Kini, setelah aku menjadi seorang Muslim banyak sekali kutemukan kedamaian di sini. Emosiku semakin terkontrol, yang sebelumnya mudah meledak-ledak. Aku semakin sabar menghadapi persoalan apapun, yang sebelumnya hampir sulit kulakukan.
Hal yang paling membahagiakan, Islam telah merubah perilaku burukku selama ini. Dulu, saat masih Kristiani, aku adalah seorang pemabuk. Kuhabiskan banyak waktu hanya dengan minum-minuman keras. Aku juga suka berjudi. Uangku habis hanya karena persoalan yang satu ini. Pada saat itu aku merasa, mabuk dan judi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tanpa keduanya, maka tanpa pula diriku.
Islam lalu merubah seluruh perilaku burukku itu. Aku tidak saja sadar bahwa mabuk dan judi merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan dosanya besar. Tapi, aku juga semakin menyadari bahwa keduanya sama sekali tidak pernah berguna bagi diriku. Yang ada, hanyalah semakin membuat tubuhku rusak dan hidupku berantakan.
Islam pula yang kemudian membuat hidupku semakin terarah. Aku seperti punya masa depan yang cerah di depan. Hidupku semakin tertata rapih. Ada rencana dan konsep yang jelas. Aku sendiri tidak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi setelah aku masuk Islam. Yang jelas, Islam benar-benar telah merubah hidupku. Aku semakin damai dan tenang.
Mungkinkah ini berkat shalat, puasa dan zikir yang kulakukan setelah masuk Islam! Setelah kupahami lebih dalam, semua ini ada benarnya. Dalam shalat, puasa dan zikir kutemukan bagaimana caranya berkonsentrasi dan berkontemplasi. Akhirnya, kutemukan ketenangan dan kedamaian.
Hanya saja kadang aku berpikir, apakah aku tidak dikatakan terlambat untuk masuk Islam di usia 29 tahun? Bila mengingatnya, terutama setiap kali datang satu ramadhan, aku kadang menangis. Tapi, di sisi lain aku juga bahagia. Aku berpikir, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Begitulah diriku setelah masuk Islam. Pasti ada sisi baik dan buruk yang kualami.
Salah satu resiko yang kuterima setelah masuk Islam adalah aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja. Aku dianggap berani melawan pimpinan. Padahal, pada saat itu aku hanya berusaha mengatakan yang sebenarnya. Ceritanya, aku dan teman-temanku berniat shalat Jum’at, tapi dilarang oleh pimpinan. Aku tetap memaksanya. Bahkan, mengompori teman-teman untuk tetap melakukannya.
Usai shalat Jum’at, aku didatangi oleh pimpinan. Ia murka kepadaku. Ia mengomeliku karena dianggap berani melawan kebijakan perusahaan. Tapi, aku bilang padanya bahwa apa yang aku lakukan semata-mata kewajibanku sebagai seorang Muslim. Shalat itu merupakan perintah Tuhan. Hal ini kukatakan padanya secara gamblang. Tetapi, ia terus mengomeliku. Tidak ada kata ampun lagi, aku pun bilang pada pimpinanku itu bahwa ia seorang kafir. Aku lepas kontrol saat itu, karena ia benar-benar tidak menghargai diriku yang seorang Muslim dan juga teman-temanku yang lain.
Usai kejadian itu, tiga bulan kemudian aku dipecat oleh perusahaan setelah aku bekerja selama setahun setengah. Aku tidak menyesal atas apa yang aku perbuat itu. Aku pikir ini sudah menjadi resiko atas keislamanku bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pasti ada sisi baik dan buruk atas segala sikap yang diambil. Bagiku, ini hanyalah kericil-kericil kecil yang bisa kusingkirkan dan kuatasi. Di depan, ujiannya mungkin jauh lebih besar.
Tidak itu saja, aku juga dijauhi oleh teman-teman Kristianiku. Mereka menarik diri dari pergaulan bersamaku. Bagiku, ini sama sekali tidak masalah. Toh, aku juga punya kawan baru yaitu orang-orang Muslim, yang tentu jauh lebih mengerti dan menyadari keadaanku.
Aku juga ada gap dengan kedua orang tua, nenek dan adik-adikku. Sekali lagi, ini adalah resiko yang harus aku tanggung atas keislamanku. Aku tidak akan menarik kakiku untuk kembali ke belakang. Aku harus melangkah ke depan. Di depan masih banyak hal yang perlu kupikirkan dan kulakukan dibandingkan hanya memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
Kini, kegiatanku adalah berdakwah dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku dakwahkan apa yang bisa kulakukan. Keterbatasan pengetahuanku tentang agama Islam, tidak menyurutanku untuk berhenti berdakwah. Ini jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Bahkan, aku ingin meninggal di dalam masjid dalam keadaan berdakwah.
Kini, sudah enam tahun berlalu aku menjadi seorang muallaf. Selama itu pula aku selalu menanamkan citra positif tentang Islam pada orang-orang non-Islam. Inilah dakwah penting yang harus dilakukan oleh umat Islam. Sebab, selama ini mereka cenderung berpikir negatif tentang Islam. Akibatnya, mereka takut pada orang Islam. Pada akhirnya, orang Islam pun dijauhi.
Setiap kali aku berdakwah, selalu kusampaikan hal ini yaitu bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Kepada ibuku dan adikku yang kini masih hidup, tak pernah jera kusampaikan mengenai kelembutan dan kedamaian Islam ini. Hanya saja, mereka rupanya belum mendapatkan hidayah dari Allah. Mereka masih phobia terhadap Islam. Tapi, aku tak pernah jera untuk membuat ibu dan adik-adikku mengerti bahwa agama yang kupeluk sekarang ini adalah agama yang paling benar di sisi Allah. Ayahku sendiri telah wafat tahun 2006, sedang nenekku setahun sebelumnya.
Satu hal yang selalu kutanamkan dalam pikiranku bahwa aku tidak boleh takut pada ancaman apapun yang membahayakan keselamatanku. Aku tetap akan bicara lantang tentang kebenaran Islam. Sebaliknya, aku akan blak-blakan bicara tentang kekeliruan ajaran Kristen. Aku sedikit keras dalam hal ini dan mungkin beresiko bagi keselamatanku. Tapi, ini adalah resiko yang harus kuambil sebagai bagian dari dakwah dan perjuangan menegakkan kalimat-kalimat Allah. Aku ikhlas jika seandainya harus mendapatkan ajalku dalam perjalanan dakwah. Justru inilah yang harus kucari yaitu keridhaan Allah SWT. Amien. (Eep Khunaefi/dimuat di Hidayah edisi 87)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar