Rabu, Oktober 29, 2008

Durhaka pada Ibu, Muka Dipenuhi Benjolan

Seorang ibu yang sebenarnya sudah tidak muda lagi mendatangi anaknya yang sedang duduk di teras. Dengan lembut ibu berkata pada anaknya, “Nak, tolong belikan lilin di warung Mang Kodir!”
“Enggak ah, saya capek,” ujarnya ketus.

Ibu yang bernama Ibu Asminah itu sedih. Terpaksa ia melakukannya sendiri. Dengan tertatih-tatih ia berjalan gontai menuju warung Mang Kodir untuk membeli Lilin. Sedari 3 jam yang lalu, listrik di kampung x memang padam. Jadi, ibu Asminah mempersiapkan diri untuk malam hari. “Sedia payung sebelum hujan,” begitu kata pepatah.

Kisah di atas hanyalah sekelumit dari rentetan kedurhakaan laki-laki bernama Asgar pada ibunya. Berkata kasar, tak menurut perintah, tidak sopan, lebih mementingkan kepentingan istrinya adalah sifat-sifat jelek Asgar yang membuat Ibu Asminah kadang tak pernah berhenti menangis. Dalam doanya ibu yang sebenarnya sudah tidak muda lagi itu hanya melirih, “Ya Allah, bukakan hati anakku! Mungkin yang dilakukannya selama ini karena ia tidak tahu. Mohon beri kesempatan ia untuk memperbaiki diri!” Tak pernah berhenti Ibu Asminah mendoakan anaknya agar segera bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar.

Sejahat-jahat perilaku anak pada kedua orang tuanya, ia tetap mendapatkan perlakukan istimewa dari mereka. Hal ini berlaku terhadap Asgar. Sang ibu yang kerapkali mendapatkan perlakuan kasar dari anaknya ini masih sempat menyiapkan nasi goreng atau membuatkan kopi di pagi hari. Bukankah Asgar punya istri! Ia wanita sibuk dengan segudang pekerjaan di kantor. Kadang sempat dan kadang tidak ia melayani suaminya, meski hanya sekedar membuatkan kopi pagi atau nasi goreng ala kadarnya.

Asgar adalah seorang eksekutif muda. Berangkat pagi dan pulang sore adalah kebiasaannya setiap hari Senin hingga Jum’at. Hari Sabtu dan Minggu ia sering gunakan untuk berlibur, yang justru membuat ibunya kerapkali sedih. Sebab, sang ibu jarang sekali diajak. Padahal, meski sudah tua, hati kecilnya tetap ingin sekali-kali menikmati pemandangan di luar. Tak perlu liburan istimewa, yang penting mendapatkan perhatian anaknya untuk diajak saja sebenarnya sudah cukup bagi Ibu Asminah. Tetapi, hal ini tak pernah ia rasakan. Asgar, lelaki yang dulu sangat dibanggakan ibu Asminah karena kepintarannya ini justru lebih mementingkan istri dan anak-anaknya. Padahal, disadari atau tidak, bahwa setiap hari Asgar dan istrinya justru masih tinggal di rumah ibunya yang cukup megah.

Sejak kecil, Asgar memang sangat dimanjakan sebab ia adalah anak satu-satunya. Selain itu, ia termasuk anak yang pintar. Mungkin itulah yang membuat Asgar tumbuh sebagai sosok yang sangat dimanja. Meski bapaknya telah tiada, hal itu tidak merubah watak Asgar yang jahat.
Bahkan, ia merasa tidak adanya bapak berarti tidak ada lagi orang yang bisa menekan kemauannya. Ibu Asminah yang sudah tua sudah tak bisa lagi mengontrolnya. Dalam doanya kerapkali ia melirih, “Ya Allah, mungkin ini akibat hamba terlalu memanjakan anak. Dia menjadi pembangkang dan berani melawan orang tua. Ia tidak salah, Ya Allah. Hamba yang salah.”

Ibu Asminah memang berhati mulia. Meski nyata-nyata Asgar adalah lelaki yang tidak tahu diri dan bisa dikatakan “durhaka” pada dirinya, Ibu Asminah tetap menganggap ini adalah kesalahannya dalam mendidik. Ia sangat memanjakannya sejak kecil hingga dewasa. Karena itulah, pikiran dan jiwanya tidak matang. Kalaupun ia kemudian mendapatkan posisi yang bagus di pekerjaan, itu karena kepintarannya dan prestasi akademiknya yang bagus.

Wajahnya Gatal-gatal
Malam menghantui kampung x. Ibu Asminah dan Asgar terlelap dalam tidurnya. Di tengah pekik suara binatang malam Ibu Asminah yang rajin beribadah ini terjaga dari tidurnya. Ia hendak menunaikan ibadah shalat tahajud, yang kerapkali dilakukannya dalam setahun terakhir. Mungkin ia merasa ajalnya sudah dekat, karena itu ibadahnya semakin ditingkatkan.

Asgar sendiri lalu terjaga. Bukan karena punya keinginan yang sama seperti ibunya untuk shalat malam, tapi karena dirinya tiba-tiba merasa gatal. Ia menggaruk-garukkan mukanya yang dirasakannya sangat gatal. Istrinya yang bernama Rohimah ikut terbangun karena ulah berisik yang dilakukan oleh suaminya. Melihat kondisi suaminya, Rohimah merasa kasihan. Ia pun segera mengompres mukanya dengan air hangat. Barangkali cara seperti ini ampuh untuk mengusir rasa gatal dari wajah suaminya.

Benar saja. Malam itu pun bisa dilalui Asgar dengan baik-baik saja. Tidak sampai setengah jam ia bergelut dalam kegatalan di wajahnya, ia pun bisa melanjutkan tidurnya kembali yang sempat terganggu itu. Sebagai eksekutif muda, pagi-pagi Asgar bangun yang diikuti oleh istrinya. Sementara ibu Asminah masih bertepekur dalam dzikirnya sehabis menunaikan shalat Subuh.

“Bu, buatkan saya nasi goreng, dong! Lapar nih!”

“Si Rohimah mana.”

“Ia sibuk dandan.”

“Tanggung, Nak. Ibu selesaikan zikir dulu.”

“Ya udah cepat.”

Usai zikir Ibu Asminah menuju dapur. Kelakuan Asgar memang tak pernah berubah, selalu saja minta dibuatkan nasi goreng ibunya yang memang sangat enak, meski ia sudah memiliki istri.
Maklum, Rohimah tak bisa memasak. Ia juga terdidik sebagai anak yang manja dalam keluarganya. Ia tak bisa memasak. Untuk makan, biasa ia membeli di warung-warung terdekat.
Jadi, meski sudah beristri, Asgar tetap mengandalkan ibunya untuk urusan rumah tangga.

Tak lama kemudian Ibu Asminah kembali sambil membawa nasi goreng untuk anaknya dan menantunya yang kurang ajar juga. Sementara kedua anaknya, Dinda dan Rijal, masih tidur.
Mereka kerapkali ditinggal pergi kedua orang tuanya dalam kondisi masih tidur. Kalau sudah begitu, yang repot pasti Ibu Asminah. Sebab, ia juga yang mengurus cucu-cucunya.

Usai melahap sepiring nasi goreng dan secangkir kopi setengah pahit, Asgar pergi ke kantor bersama istrinya. Keduanya memiliki kantor yang berbeda, namun satu arah. Mereka berpisah ketika sampai di pertigaan gang kerinci. Asgar belok kanan, sementara Rohimah belok kiri. Hari itu cuaca terang. Asgar segera meletakkan tas kerjanya di meja. Tetapi, belum saja ia bekerja wajahnya dirasakannya mulai gatal-gatal lagi. Ia menggaruk-garukkannya hingga merasa kesal.
“Kurang ajar, penyakit apaan nih!” umpatnya.

Hari itu, Asgar benar-benar tak bisa bekerja. Ia segera pamit pada bosnya untuk berobat. Puskesmas tak jauh dari kantornya. Ia segera menemui dokter spesialis kulit dan memeriksakan kondisi wajahnya yang gatal-gatal.

“Apa keluhan Anda?”

“Wajah saya gatal-gatal, Dok.”

“Coba kuperiksa.”

Dokter mendiagnosa kulit wajah Asgar. Darah Asgar juga diambil untuk dijadikan sampel pemeriksaan barangkali ada yang tidak beres pada darahnya. Asgar menunggu hasil laboratorium dokter. Tak lama kemudian dokter kembali dari laboratorium dengan membawa keputusan yang di mata Asgar aneh,

“Anda sebenarnya tidak apa-apa.”

“Tidak apa-apa gimana, Dok. Saya jelas gatal-gatal.”

“Rasa gatal yang timbul di wajah Anda hanyalah reaksi dari debu kotor dan sinar matahari yang mengenai wajah Anda. Ini sementara kok, nanti juga hilang dengan sendirinya.”

Meski sempat kecewa dengan hasil diagnosa dokter, tapi Asgar akhirnya mau tidak mau harus menerimanya. Ia berharap perkataan dokter benar bahwa tidak terjadi apa-apa pada wajahnya yang sudah dua hari dirasakan gatal.

Asgar kembali ke rumah. Melihat kedatangan anaknya yang begitu cepat dari kantor, Ibu Asminah kaget.

“Kok tumben pulang cepat.”

“Ini bukan urusan ibu. Saya lagi kesal.”

“Emangnya ada apa?”

“Wajah saya gatal-gatal tapi kata dokter tidak terjadi apa-apa.”

“Coba ibu periksa.”

“Gak usah, kata dokter nanti juga sembuh sendiri.”

Perhatian Ibu Asminah tak pernah dihargai oleh Asgar, padahal ibu berhati emas itu selalu ikhlas menemani dan melayani anaknya yang sudah bertindak kurang ajar. Asgar benar-benar anak yang durhaka.

Sakitnya Makin Parah
Waktu terus berjalan. Tigar hari kemudian usai memeriksakan kondisinya pada dokter, Asgar merasakan kulit wajahnya gatal-gatal lagi. Bahkan, semakin dirasakan kian gatal hingga Asgar terpaksa menggaruk-garukkan wajahnya dengan jari-jari tangannya. Tapi, rasa gatal itu tidak hilang, bahkan dari bekas garukkan itu muncul benjolan-benjolan kecil dan beberapa saat kemudian semakin besar.

Asgar panik dan segera ia pergi ke dokter. Tapi, dokter memvonis penyakit yang diderita Asgar hanyalah penyakit gatal-gatal biasa. Dan dokter pun memberi resepnya untuk mengantisipasi timbulnya benjolan susulan. Tetapi, gatal-gatal itu tak hilang juga dalam beberapa hari, bahkan semakin bermunculan hampir menutupi seluruh wajahnya.

Asgar merasa malu pada dirinya. Istrinya sendiri sudah tak bisa berbuat apa-apa atas derita yang dialami oleh sang suami. Ia sampai pernah pergi ke paranormal, barangkali dirinya terkena santet, tapi hasilnya tetap nihil. Semua paranormal yang ditemuinya hampir berkesimpulan sama bahwa penyakit yang diderita oleh Asgar pasti ada hubungannya dengan sesuatu yang gaib, tapi bukan santet.

Asgar lalu mendatangi seorang kiayi yang dianggap pintar. Pak kiayi pun mendeteksi Asgar terkena suatu penyakit aneh, yang tidak ada kaitannya dengan penyakit medis. Tetapi, oleh pak kiayi Asgar disarankan agar lebih dekat pada Tuhan dan berbakti pada ibunya. “Nak Asgar, mungkin pernah melakukan kesalahan pada ibu. Coba minta maaf padanya!” ujar pak kiayi.

Tapi dasar anak durhaka, Asgar malah mengumpat-umpat pak kiayi meski tak dikatakannya, tetapi disembunyikannya dalam hati. Ia mengatakannya pada istrinya, “Bukannya saya diobati malah dinasehati. Kalau tidak tahu ya katakan saja tidak tahu, gak usah nebak-nebak.”

Tak lama kemudian Ibu Asminah meninggal dunia. Tubuhnya yang renta dan rambutnya yang sudah ditumbuhi banyak ubah, akhirnya tak bisa menyelamatkan ajalnya yang memang telah digariskan oleh Tuhan. Ibu Asminah meninggal dengan kondisi tenang, tetapi menyisakan penderitaan yang mendalam karena anak satu-satunya belum bertaubat. Padahal, sebelum meninggal ia ingin sekali melihat anaknya betaubat.

Untuk menutupi rasa malunya, Asgar terpaksa cuti kerja untuk beberapa hari. Selama beberapa hari ia mengurung dirinya dalam kamar. Kalaupun keluar rumah, ia selalu berjalan merunduk hingga membuat tetangganya aneh. Bahkan, ia sering menggunakan topi atau sweater untuk menutupi wajahnya saat keluar rumah. Keluar juga karena terpaksa untuk membeli sebungkus rokok atau minuman. Selebihnya ia menghabiskan banyak waktunya di dalam rumah.

Seminggu telah lewat dan Asgar masih dalam keadaan pilu. Ia sudah beberapa hari tidak masuk kantor. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Istrinya protes, sehingga sempat membuat mereka berantem. Tapi, Asgar bisa membela diri dengan mengatakan kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja di luar. Ia berlasan kalau keadaannya memungkinkan ia akan bekerja lagi. Akhirnya sang istri pun mengerti.

Begitulah hari-hari Asgar lalui dengan penuh penderitaan akibat durhaka kepada ibunya. Hingga berita ini ditulis, Asgar masih merasa malu jika keluar rumah. Tetapi selama itu ia tak pernah merasa bahwa semua ini akibat perbuatan jahatnya pada sang ibu. “Orang-orang kampung sih sudah tahu kalau ia seperti itu karena durhaka pada ibunya,” ujar Tonton, yang tak lain merupakan tetangga Asgar. Tetapi, Asgar sendiri tak pernah sadar atas ulah durhakanya pada sang ibu di masa lalu. “Jika ia bertaubat pada Tuhan dan meminta maaf kepada-Nya atas dosa-dosa yang pernah dilakukan pada ibunya, mungkin penyakitnya bisa sembuh,” ujar Tonton.

Tuhan Maha Pengampun. Meski orang tua kita sudah meninggal, tapi tak pernah ada kata berhenti bagi kita untuk selalu mendoakan mereka atau meminta maaf pada mereka atas dosa-dosa yang telah kita lakukan. Sebab, doa sang anak untuk orang tuanya yang sudah meninggal dunia pasti akan sampai.

Demikian pelajaran yang bisa kita petik dari kisah di atas bahwa selayaknya bagi kita untuk berbakti pada kedua orang tua, terutama ibu. Sebab, ridha Allah berada pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya juga terletak pada murka kedua orang tua. Semoga kita bisa menjadi golongan orang-orang yang selalu taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tua kita! Amien.

Eep Khunaefi/sumber foto: www.photobucket.com

Tidak ada komentar: