Perjalanan hidup seseorang itu memang susah ditebak. Ada orang yang kelihatannya baik dan saleh, tapi di akhir hidupnya justru ia meninggal mengenaskan. Sebaliknya, ada orang yang seluruh hidupnya nyaris dihabiskan untuk berjudi, mabuk-mabukan dan main perempuan. Tapi, di sisa hidupnya ia justru bertaubat dan menjadi orang alim. Kisah seperti ini banyak terjadi di dunia ini. Semua ini menjadi rahasia Tuhan, supaya bisa dijadikan pelajaran oleh kita semua.
Sebut saja namanya Kadir. Wajahnya lumayan gagah. Tubuhnya agak tinggi dan berkulit setengah-setengah: tidak putih atau hitam. Ia juga menjadi anak kesayangan kedua orang tuanya sejak kecil. Di samping berprestasi, ia juga patuh dan taat pada kedua orang tua. Karena itu, saat keluar dari SMP, ia dimasukkan ke pesantren di Jawa.
Sebagai anak yang terdidik dengan agama yang lumayan bagus, Kadir berbahagia menghadapi kenyataan dirinya dipesantrenkan kedua orang tuanya ke Jawa. Apalagi, ia pun mendapatkan pesangon yang lumayan besar setiap bulannya: cukup untuk makan tiga kali sehari, nonton bioskop setiap minggu atau jalan-jalan ke tempat yang disenanginya.
Sebelum berangkat, sang bapak hanya berpesan satu hal, “Nak, mudah-mudahan kelak kamu bisa bangun langgar ya di sini. Kamu nanti yang menjadi imamnya.” Kadir yang masih remaja, hanya manggut-manggut saja mendengar pesan bapaknya seperti itu. Dalam hatinya, ia bertekad akan memenuhi pesan sang bapak.
Bertahun-tahun Kadir menghabiskan waktunya di pesantren. Selama itu pula kedua orang tuanya tetap optimis bahwa anaknya sedang serius belajar kitab kuning dan ilmu-ilmu agama pada para ustad dan kiayi di sana seperti fikih, tafsir, tauhid, akhlak, dan sebagainya.
Hati mereka pun semakin tenang, ketika mernerima sepucuk surat dari anaknya. Pesan surat itu singkatnya seperti ini, “Ayahanda dan Ibunda gak usah khawatir. Keadaan Kadir di sana baik-baik saja. Doakan Kadir agar ujian nanti bisa mendapatkan nilai yang bagus. Amien.”
Sebagai kedua orang tua, Mang Sarta dan Ibu Sawinem, sangat bangga sekali pada anaknya yang satu ini. Sudah pintar, perhatian lagi. Pokoknya, di mata mereka, Kadir is the best.
Akhirnya, Kadir lulus dengan nilai yang memuaskan. Doa kedua orang tuanya dikabulkan Tuhan. Kadir pun pulang ke rumah dengan dada tegap dan penuh kebahagiaan. Sebab, perjuangannya selama tiga tahun di pesantren akhirnya berhasil. Ia telah menggondol “gelar santri” dengan sukses.
Sampai di rumah, Kadir pun diterima kedua orang tua dan saudara-saudaranya penuh suka cita. Bahkan, Mang Sarta dan Ibu Sawinem membuat pesta syukuran atas keberhasilan anaknya menjadi santri di Jawa. Tidak mewah, cukup membuat nasi bungkus berisi telur dan sayur lalu dibagi-bagikan kepada para tetangga.
Bertemu Kawan Lama
Lulus dari pesantren, tidak banyak yang dilakukan Kadir di rumah. Untuk mengamalkan ilmunya, ia mengalami kesulitan. Sebab, di kampungnya, tidak ada pesantren dan masjid besar yang menampung para pengajian. Tadinya, ia langsung dikuliahkan, tapi bapaknya minta Kadir rehat dulu setahun atau dua tahun. Masalahnya, usaha kebun palawija bapaknya sedang bangkrut karena habis dimakan hama. Jadi, tidak ada biaya lagi untuk menguliahkan Kadir ke perguruan tinggi.
Kadir pun menerima dengan lapang dada, meski hati kecilnya ingin sekali kuliah. Untuk menutupi waktu kosongnya selama di rumah, Kadir menemui mantan teman-temannya saat di SMP. Mereka adalah Adi dan Fadli. Bersama Kadir, Adi dan Fadli ini dikenal sebagai tiga serangkai. Saat SMP mereka selalu pergi bersama. Suka dan duka, mereka selalu tanggung bertiga.
Tiga tahun di pesantren, membuat Kadir diserang kerinduan ingin bertemu mereka. Dicarilah Adi dan Fadli oleh Kadir dengan sepeda motor. Tak lama kemudian, mereka berdua pun bisa diketemukan di sebuah warung, sedang minum kopi. Ternyata, Adi dan Fadli hingga kini masih selalu bersahabatan. Reuni pertama kalinya dengan teman lamanya itu, membuat Kadir sangat bahagia. Setidaknya, ia punya sahabat yang bisa diajak ngobrol saat berada di rumah.
Begitulah, selama berbulan-bulan mereka bersahabat. Sementara itu, usaha kebun palawija Mang Sarta justru tak pernah menuai keberuntungan. Ia selalu mengalami kerugian setiap kali panen. Akhirnya, keputusan untuk menguliahkan Kadir pun benar-benar batal. Kepada anaknya itu, suatu kali Mang Sarta berkata penuh lirih, “Dir, Bapak kayaknya tak bisa memenuhi janji Bapak untuk menguliahkan kamu.”
Merasa sudah punya sahabat lagi, Kadir pun menjawab dengan enteng, “Tidak apa-apa, Pak. Di sini saya juga sudah merasa bahagia. Nanti, kebun palawija biar saya saja yang ngurus.”
Badan Mang Sarta sudah kian ringkik. Pori-pori mukanya mulai mengeriput dan menua. Tak ada daya lagi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan keras seperti berkebun. Setelah Kadir bilang akan mengurus kebun itu, Mang Sarta pun merasa puas. Setidaknya, tanpa disuruh pun akhirnya Kadir mau kembali ke habitatnya sebagai seorang petani, bukan seorang ustadz atau kiayi.
Kadir pun menghabiskan waktunya dengan berkebun atau ngerumpi dengan teman-teman lamanya. Begitulah yang dilakukan Kadir selama bertahun-tahun, hingga tak terasa usianya telah mencapai 30 tahun.
Terjebak Minuman Keras
Suatu kali Kadir nongkrong bersama kedua teman lamanya, Adi dan Fadli di sebuah warung yang sudah setahun terakhir sebagai persinggahannya untuk melepas dahaga. Biasa, mereka ngerumpi membicarakan masalah pemuda sambil ngopi dan merokok. Tanpa diduga oleh Kadir, Adi menyodorkan sebuah minuman yang tidak dikenal oleh Kadir sama sekali jenisnya.
“Apa ini, Di?” tanya Kadir pada Adi.
“Minum aja, gak usah banyak tanya.”
“Gak, ah.”
“Kita sahabatan sudah lama. Gak mungkin lha saya menjerumuskanmu. Udah minum aja.”
“Ya Dir, udah minum aja. Gak apa-apa kok, nanti juga akan terbiasa.” Tiba-tiba teman Adi, si Fadli menimpalinya.
Demi persahabatan, akhirnya Kadir meminum botol itu seteguk demi seteguk. “Kok, rasanya menyengat begini!” ujar Ujang.
“Emang rasanya begitu, Dir. Nanti kamu pasti akan merasa fun,” ujar Adi.
Hari itu, Kadir akhirnya menghabiskan satu botol minuman keras. Ia mulai terjebak pergaulan tidak baik kedua temannya. Meski seorang sahabat baik saat SMP, tapi Adi dan Fadli adalah anak gelandangan, pengangguran dan anak gank. Mereka berdua berusaha untuk menjerumuskan Kadir ke dalam pusaran pergaulannya yang dianggapnya lebih hebat, jagoan dan super.
Sebagai peminum pemula, tubuh Kadir sudah oleng diterjang sebotol minuman keras. Kepalanya mulai pusing. Kepada dua sahabatnya itu ia minta pamit, “Aku pulang dulu, coy. Besok, kita ketemu lagi di sini!”
“Beress, bos!” ujar mereka berdua serentak.
Saat Kadir pergi, Adi dan Fadli tertawa bangga. Mereka merasa menang telah berhasil menjerumuskan Kadir. Pertemuan besok, mereka pun membawa rencana baru yang lebih dahsyat dari sebelumnya.
Menjadi Kian Liar
Besok pun mereka bertemu lagi di tempat yang sama. Kali ini Adi dan Fadli membawa lebih banyak lagi minuman keras. Tanpa dikasih, Kadir sudah nanya lebih dahulu, “Minuman seperti kemarin mana. Habis minum tidur saya jadi enak,” ujar Kadir.
“Tenang, aja. Kamu bisa puas-puasin malam ini berapa botol pun yang kamu mau,” ujar Adi sambil menyodorkan sebotol minuman keras jenis kemarin.
Begitulah, malam itu Kadir, Adi, dan Fadli mabuk berat. Kadir benar-benar sudah lupa diri tentang jati dirinya sebagai anak santri. Ia telah melupakan ajaran agama yang didapatkannya di pesantren. Nasehat para ustadz dan kiayi di sana sudah dihiraukannya. Kini, Kadir sudah masuk perangkat syetan yang menjelma pada sosok kedua sahabatnya, Adi dan Fadli.
Hampir setiap hari, tiga serangkai itu mabuk-mabukan. Tidak saja di satu tempat, tapi di tempat-tempat lain. Akhirnya, Kadir pun benar-benar ketagihan dengan minuman keras. Sehari tidak minum kulitnya seperti tersayat-sayat silet, pedih rasanya!
Tapi, untuk membeli minuman keras itu tentu membutuhkan uang. Dari mana Kadir mendapatkan semuanya itu? Jika sebelumnya, Kadir dikasih gratis oleh kedua sahabatnya, kali ini ia harus memakai uang sendiri. Saat itu, tujuan Adi dan Fadli hanya untuk menjerumuskan Kadir. Jadi, mereka ikhlas mengasih Kadir minuman keras. Kini, setelah Kadir benar-benar sudah menjadi pemabuk, ia pun diharuskan untuk membeli minuman keras dengan uangnya sendiri.
Di sisi lain, kebun palawija milik bapaknya sudah mulai tidak terurus. Mang Sarta sudah tidak kuat lagi. Sementara, Kadir lebih senang dengan dunia barunya: mabuk-mabukan. Akhirnya, keputusan terjelek pun diambil oleh Kadir: memalak. Ya, dengan cara inilah Kadir bisa mendapatkan uang untuk membeli minuman keras.
Begitulah, sejak itu Kadir menjadi seorang pemalak. Gaya premanisme sudah mulai dilakoninya. Dalam perkembangannya, aksi Kadir lebih dahsyat lagi. Ia berani menghajar orang hanya karena tidak dikasih uang saat aksi memalaknya tidak berhasil. Bahkan, Kadir mulai berani membawa senjata tajam berupa celurit kecil. Dengan senjata itu, pernah ia menyelurit kuping orang hingga putus dan berurusan dengan kepolisian. Tetapi, setelah keluar dari kantor polisi, ia tidak jera, malah semakin beringas.
Mang Sarta dan Ibu Sawinem sudah tidak tahan lagi melihat kelakukan Kadir. Karena menanggung depresi berat, akhirnya Mang Sarta meninggal dunia. Beberapa tahun kemudian ibunya yang sudah tua juga menyusul suaminya ke alam baka. Kini, di rumah tinggal Kadir sendirian. Saudara-saudaranya lebih memilih tinggal di tempat yang berbeda, karena kelakuan Kadir benar-benar telah memalukan keluarga besarnya. Kadir pun semakin nekad saja dalam aksi-aksinya karena sudah tidak ada lagi orang yang menahan-nahannya.
Bertaubat
Bertahun-tahun Kadir melakoni dirinya sebagai seorang penjahat: malak, mabuk, dan judi. Selama itu pula, banyak orang yang disakiti olehnya. Suatu kali, di tengah malam, ia duduk di depan rumahnya sendirian. Kali ini ia tidak berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Ia menatap langit yang bertaburkan bintang. Seketika ia ingat pesan bapaknya saat masih kecil. “Nak, coba lihat langit di atas. Di sana ada Tuhan yang menciptakan kita?”
Tiba-tiba bulu kuduk Kadir merinding seperti ada angin yang mengibasnya. Terbersit dalam hatinya penyesalan mendalam atas perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Ia sudah lupa pada Tuhan. Shalat kadang ditinggalkannya. Bahkan, saat bulan Ramadhan tiba, ia jarang sekali berpuasa. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia benar-benar telah terperdaya oleh bujukan kedua sahabatnya tersebut.
Tak lama kemudian Kadir masuk ke dalam dan tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu bapaknya di suatu tempat yang sangat asing baginya. Di sekitarnya benar-benar hanya berwarna putih. Oleh bapaknya, Kadir ditanya, “Dir, kenapa kamu gak sadar-sadar juga? Hidup ini hanya sebentar. Kembalilah ke jalan yang benar!” Setelah itu, bapaknya pergi begitu saja.
Kadir terkejut dan terjaga dari tidurnya. “Ah, saya hanya mimpi!” bisik Kadir dalam hati. Tetapi, peristiwa itu tak pernah dilupakannya. Mimpi itu selalu mengiang-ngiang di telinganya. Akhirnya, Kadir menjadi malas keluar rumah. Saat kedua temannya, Adi dan Fadli menyambanginya, ia pun hanya berkata, “Badan saya lagi gak enak, nih. Kali ini saya absen lagi deh.” Sejak itu, Adi dan Fadli tidak pernah lagi datang ke rumah Kadir. Karena setiap kali diajak, Kadir selalu punya alasan yang tepat.
Suatu kali Kadir masuk ke kamar bapaknya yang sudah lama tidak dilihat, sejak bapaknya meninggal. Keadaannya kotor sekali tak terurus. Debu dan sawang bertebaran di mana-mana. Ia kemudian membuka lemari pakaian bapaknya dan tiba-tiba sebuah benda jatuh. Ternyata benda yang jatuh itu adalah foto bapaknya. Diambillah foto itu dan dilihatlah wajah bapaknya. Tanpa sadar Kadir menangis. Kedua kelopak matanya sembab dengan air. “Pak, maafkan Kadir! Selama ini Kadir telah mengecewakan Bapak. Karena Kadir, Bapak akhirnya meninggal dunia,” bisik Kadir dalam hati, sambil mengusap kedua pipinya yang basah karena lelehan air mata.
Sejak itulah, Kadir akhirnya bertaubat dan meninggalkan kebiasaan buruknya yang suka mabuk dan memalak orang. Pakaian lama yang pernah dikenakannya seperti kopyah dan sarung, kini mulai disarungkan kembali ke badannya. Ya, ia sudah mulai shalat dan beribadah lagi kepada Tuhan.
Bahkan, sebagai bentuk penyesalannya, ia kemudian menjual kebun palawija warisan bapaknya untuk memenuhi amanat almarhum sebelum dirinya berangkat ke pesantren yaitu mendirikan langgar (tajug). Tetapi, persoalan kemudian muncul saat pembangunan langgar itu. Banyak orang yang tidak mau membantu Kadir. Mereka tidak percaya dengan maksud baik Kadir. Orang preman mana mungkin bisa buat langgar? Hardik mereka dalam hati. Di antara mereka juga tidak sedikit yang menjadi korban kejahatan Kadir. Akhirnya, Kadir mencari orang dari desa tetangga untuk membangun langgarnya.
Setelah langgar itu selesai dibangun, Kadir sendiri yang menghidupi langgar tersebut. Ia yang adzan dan iqamah. Bahkan, bila ada jamaah datang, ia sendiri yang menjadi imamnya. Lama-kelamaan jamaah di langgar milik Kadir semakin banyak yang berdatangan. Langgar milik Kadir pun menjadi hidup dan ramai. Pasalnya, suara Kadir juga tidak jelek-jelek amat saat membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bacaan tajwidnya juga bagus, sebab ia pernah jadi santri di Jawa.
Bahkan, setelah sekian lama berjalan, Kadir mulai dipakai di masjid di kampungnya sendiri. Ia sekali-kali menjadi imam dan khatib Jum’at di sana. Subhanallah! Sebuah akhir kisah hidup yang manis untuk seorang mantan penjahat! Semoga banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini! Amien. Eep Khunaefi/Foto sekedar ilustrasi (diambil dari www.geocities.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar