Rabu, Desember 24, 2008

BERTAUBAT DI PENJARA

Sebagai lelaki, Sandi bisa dibilang lumayan gagah. Badan tinggi, agak kekar dan warna kulit kuning. Ia pun pandai mengaji. Di kampungnya, Jawa Tengah, ia menjadi guru ngaji dengan banyak murid yang kerapkali datang ke rumahnya. Nilai plusnya semakin bertambah setelah ia juga mengepalai sebuah perguruan silat sekabupaten di Jawa. Dengan segala kelebihan itu, sosok Sandi pun begitu dihormati oleh warga.

Namun, Sandi ternyata belum puas dengan apa yang dimilikinya. Ia ingin memiliki ilmu kebal. Ia terinspirasi oleh adegan-adegan sang jagoan di televisi yang tidak mempan dipedang atau dibacok dengan golok. Ia pun pergi mencari guru yang bisa memenuhi keinginannya itu. Singkat cerita, orang yang dicarinya pun dapat. Oleh sang guru, aura Sandi pun dibacanya. Ternyata, Sandi memiliki aura yang bagus untuk bisa mempelajari ilmu itu.

Tetapi, sang guru memberikan syarat yang sangat berat, yang bagi orang sehat bisa dikatakan sungguh gila. Ia harus menggagahi sepuluh anak di bawah umur. Jika satu saja meleset, maka ilmunya tidak akan sempurna. Awalnya, Sandi begitu keberatan dengan syarat ini. Ia ingat Tuhan, istri dan anak kecilnya di rumah. Bagaimana pula dengan reaksi warga kalau rencananya ini diketahui?

Sejuta pertanyaan menggelanyut di pikiran Sandi. Ia pun tidak langsung memberikan jawaban. Ia pulang dulu ke rumah. Suatu kali Sandi terlibat perkelahian. Ia dikeroyok oleh para berandalan. Meski memiliki ilmu silat yang mumpuni, tapi akhirnya ia kalah juga dengan berbagai luka di badannya. Dari situlah ia terpikir kembali akan keinginannya punya ilmu kebal. Meski pikiran ragu terus menghantuinya, tapi akhirnya ia pun memaksakan diri untuk tetap pergi lagi ke tempat gurunya. Kali ini ia harus belajar ilmu kebal dan siap memenuhi syarat-syarat yang berat itu.

Melihat Sandi datang, gurunya hanya tertawa kecil. “Kamu pasti akan datang lagi ke sini,” ledek sang guru.

Sandi hanya diam terpaku. “Gimana, kamu sudah siap?” tanya sang guru lebih lanjut. Sandi mengangguk-anggukkan kepalanya.

Maka dimulailah ritual pengisian ilmu kebal kepada Sandi hari itu. Tak lama kemudian ritual pun selesai. Sebelum pergi, sang guru hanya berpesan, “Sebelum kamu melaksanakan syarat-syarat itu, kamu tidak akan pernah mendapatkan ilmu itu. Itu adalah resiko yang harus kamu tanggung.”

“Baik, Guru,” jawab Sandi.

Sandi pulang dengan berbagai kecemasan di dalam hati. Hati kecilnya masih ada pemberontakan, tapi ambisinya terlalu besar untuk mendapatkan ilmu itu. Sampai di rumah, Sandi pun melakukan kegiatan seperti biasanya: mengajar ngaji dan melatih silat.

Usaha Mulus

Menjelang Maghrib, di rumah Sandi cukup ramai dengan anak-anak kecil berkerudung dan bersedakepkan al-Qur’an. Mereka rupanya hendak belajar al-Qur’an pada Ustadz Sandi. Ya, karena kepandaiannya dalam membaca al-Qur’an, Sandi kerapkali dipanggil Pak Ustadz oleh anak-anak kecil di sana, bahkan orang tua sekalipun.

Usai Maghrib berjamaah, belajar ngaji pun dimulai. Satu persatu anak-anak yang sudah selesai diajar, pulang ke rumahnya masing-masing. Tidak ada jamaah shalat Isya di rumah Sandi. Terakhir giliran Fatmah. Anak gadis yang manis dan lumayan pintar di kelas. Ia pun selesai belajarnya. Tetapi, baru saja hendak pulang, ia dicegah oleh Sandi. “Fat, Pak Ustadz punya coklat, mau gak?” rayu Sandi pada Fatmah.

Ditawarin coklat, anak kecil manapun pasti mau, termasuk Fatmah. Ia segera mengiyakannya. Lalu dibawalah si Fatmah ke dalam kamar. Kebetulan saat itu, istri Sandi yaitu Sarinah dan anaknya sedang tidak ada di rumah. Habis Maghrib, mereka pergi ke rumah saudara jauh ada urusan keluarga. Pada saat itulah Sandi berhasil menggagahi Fatmah dengan sebuah ancaman, “Awas, kalau bilang sama orang tua, kamu akan Ustadz bunuh!”

Fatmah ketakutan. Ia pun pulang diantar oleh Sandi sendiri. Sampai di rumah orang tua Fatmah, Sandi beralasan, “Maaf, Fatmah pulang agak telat. Soalnya, tadi yang belajar banyak banget.” Orang tua Fatmah mengerti akan alasan Sandi yang demikian itu.

Fatmah hanya diam sedari tadi. Kedua orang tua Fatmah pun tidak curiga karena perangai anaknya memang demikian. Ia termasuk anak yang pendiam. Bahkan, kalau ada kemauan pun ia lebih sering diam, tidak merengek.


Begitulah, usaha Sandi untuk menggagahi anak di bawah umur yang rata-rata murid pengajiannya sendiri selalu berhasil dilaksanakannya dengan mulus, meski baru lima anak. Sampai suatu ketika. Ada kedua orang tua dari salah seorang korban yang mengetahui gelagat anaknya yang semakin aneh dirasakannya. Anak itu pun diintrogasi dan akhirnya mengakui kalau dirinya pernah dimasuki (maaf) anunya oleh Pak Ustadz. Sepontan saja kedua orang tuanya murka besar. Ia segera mendatangi rumah Sandi bersama warga lainnya. Ia ingin minta pengakuan Sandi dan pertanggung jawabannya.

Hampir Mati

Sandi tidak mengaku. Tapi, akhirnya Sandi tidak bisa mengelak lagi setelah orang tua korban yang lain ikut berdatangan ke rumahnya. Mereka menjadi tahu kalau anaknya digagahi oleh Ustadz Sandi setelah anak-anak mereka mengaku. Tanpa pandang bulu lagi, warga mulai main hakim sendiri. Tubuh Sandi ditarik keluar dan dihajar babak belur. “Bahkan, tubuh Sandi diseret seperti binatang,” ujar Hamid, yang tidak lain tetangga Sandi.

Tubuh Sandi yang sudah berdarah-darah diseret ke tengah-tengah lapangan. Dalam keadaan tidak berdaya, Sandi disaksikan oleh puluhan warga yang sudah dimakan amarah. Terlihat beberapa tulang Sandi telah remuk dan patah. Sandi sendiri sudah dalam keadaan pingsan.
Tubuh Sandi diikat sebuah tali lalu dikaitkan di sebatang kayu. “Ia seperti ayam yang sedang digantung saja, Mas,” ujar Hamid mengisahkan penderitaan Sandi kala itu. Dengan kondisi seperti itu, hitungan hidup Sandi sangat tipis. Ia tinggal menunggu kapan Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya.

Warga sudah benar-benar marah. Mereka hendak membakar tubuh Sandi hidup-hidup. Tapi, sebelum niat itu kesampaian, polisi keburu datang. Niat mereka dicegah. Polisi lalu mengamankan tubuh Sandi dan membawanya ke rumah sakit. “Pak dan ibu, kita gak boleh main hakim sendiri. Kalian boleh marah. Tapi kita juga harus taat hukum. Biar pengadilan yang memutuskan nanti,” ujar pimpinan polisi pada warga.

Sandi dirawat di rumah sakit. Setelah berhari-hari dirawat, ternyata nyawa Sandi bisa diselamatkan. Bahkan, ia bisa sadar dan bisa berbicara. Sandi pun disidangkan dengan kondisi tangan dan kaki masih patah. Pengadilan lalu memutuskan bahwa Sandi dihukum beberapa tahun penjara. Warga ada yang puas dan tidak atas keputusan pengadilan. Ada yang menginginkan Sandi dihukum mati atau seumur hidup. Saat prosesi pengadilan, wajah istri dan anaknya tidak pernah kelihatan karena merasa malu tak terperihkan.

Guru Ngaji

Di dalam penjara, Sandi hanya bisa meratapi nasibnya. Kehormatan dan harga diri yang sudah bertahun-tahun dijaganya sirna begitu saja, hanya karena ambisinya yang kelewatan: punya ilmu kebal dengan cara yang salah. Sandi benar-benar menyesal. Kenapa ia harus mengikuti syarat gurunya yang demikian berat itu?

Berbagai pertanyaan terus mengganggu pikiran Sandi. Di penjara ia selalu menangis. Ingat anak dan istri di rumah. Bagaimana nasib mereka? Mereka pasti ikut merasakan sakitnya akibat perbuatan dirinya. Mereka pasti malu.

Sandi pun akhirnya benar-benar bertaubat. Ia ingin kembali seperti dulu yaitu mengajar orang membaca al-Qur’an dengan cara yang baik. Hal itu pun dilakukannya kembali saat di penjara. Rupanya, Sandi kerapkali membaca al-Qur’an usai shalat. Hal itu dilihat oleh sahabat-sahabatnya di dalam sel. Mereka pun lambat laun ingin belajar al-Qur’an pada Sandi. Dengan senang hati, Sandi pun melakukannya.

Begitulah hari-hari Sandi di dalam penjara. Ia mengajari sahabat-sahabat selnya membaca al-Qur’an. Bahkan, Sandi kerapkali dimintakan nasehatnya. Sebab, Sandi sebenarnya lulusan pesantren yang banyak mengerti masalah agama.

Sandi juga kadang memimpin shalat berjamaah di dalam sel. Pokoknya, Sandi benar-benar telah menjadi manusia baru lagi. Bagaimana dengan nasib istri dan anaknya di rumah? Menurut Hamid, sejak peristiwa memalukan itu, Sarinah membawa anaknya mengungsi ke rumah saudaranya di desa tetangga. Ia sendiri merasa sangat malu atas perbuatan suaminya. Ia tidak menyangka jika sang suami berbuat demikian. Saat keluar rumah, kerapkali ia mendapatkan sorotan yang tajam dari tetangga-tetangganya. Ejekan mengumpat pun kerapkali keluar dan ditujukan kepadanya. Berpindah di rumah saudaranya pun menjadi solusi sementara. Entahlah, setelah suaminya keluar nanti!

Keluar Sel

Setelah bertahun-tahun hidup dalam kepenatan di dalam sel, Sandi akhirnya bebas dan menghirup udara segar lagi. Ia pun jalan mengendap-endap di malam hari ke rumah sendirinya di kampung. Ia masih merasa malu pada warga setempat. Karena itu, tidak berani jalan di siang hari. Bahkan, bisa jadi, kalau warga melihatnya ia akan digebukin lagi.

Tetapi, istri dan anak yang dicarinya tidak diketemukan. Ia pun menyadarinya pasti mereka ada di rumah saudara istrinya di kampung sebelah. Malam itu juga Sandi bergegas pergi ke rumah saudara tirinya tanpa diketahui oleh warga. Menurut Hamid, sejak itu Sandi tidak pernah kembali lagi ke kampungnya. Barang-barangnya sudah diambil oleh keluarga Sandi.

Menurut Hamid, kini Sandi telah hidup bahagia bersama istri dan anaknya di kampung sebelah. Ia telah menjelma sebagai sosok yang baru. Kini, ia berprofesi sebagai tabib. Konon, tulang-tulang Sandi yang sempat remuk dan patah juga disembuhkan sendiri. “Padahal, logikanya tidak bisa. Saya melihat sendiri tangan dan kakinya itu patah,” kata Hamid.

Begitulah takdir Tuhan. Jika Sandi ditakdirkan masih selamat, ia pun akan selamat meski dihajar babak belur oleh warga dan sebaliknya. Sandi yang awalnya sempat terjerembab ke dalam lubang dosa, kini kembali lagi ke jalan yang benar.

Dari kisah di atas bisa diambil pelajaran bahwa janganlah kita menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi kita. Sandi menyadari bahwa menggagahi orang itu dosa hukumnya, apalagi anak kecil. Tapi, ia tetap melakukannya. Ia termakan oleh serakah syaithaniyah, akhirnya akal sehatnya pun tertutup. Untungnya, ia kemudian menyadari kesalahannya dan bertaubat. Semoga kita bisa belajar dari semuanya ini! Amien. (Eep Khunaefi/foto hanya ilustrasi diambil dari toto-basuki.blogspot.com&h4lim4h.wordpress.com)

Tidak ada komentar: