Senin, Juli 27, 2009

Denny Sanusi, BA (Tjong Bun Lie), Diusir Keluarga Demi Islam (Mendpt Hidayah di Malam Lailatul Qadar)

Perjalanan keislamannya penuh berliku. Ia mendapat hadangan dari keluarganya. Berbagai cobaan pun menimpanya dari yang halus hingga kasar. Puncaknya, ia pernah diusir sang ayah dari rumah. Namun, berkat kesabaran dan keyakinannya pada agama Islam, ia pun selamat dari ujian tersebut. Kini, bersama istri dan anak-anaknya yang pintar ia pun menikmati hasilnya yang positif.

Denny Sanusi, BA, begitu namanya. Lelaki kelahiran Jakarta, 21 November 1962 ini memiliki nama asli Tjong Bun Lie. Ayahnya bernama Tjong Nyit Sin dan ibunya adalah Lie Kim Nyuk.

Sejak kecil, Denny hidup dengan gelimang harta dan agama Konghucu. Ia terdidik untuk mengikuti agama bapaknya yang merupakan asli orang China, yang merantau ke Jakarta dan kemudian bertemu dengan gadis Bandung untuk dinikahinya.

Sebagai pemeluk agama Konghucu, sebenarnya Denny cukup taat. Namun, keluarga cukup demokratis dalam memperlakukan agama pada anak-anaknya. Sikap demokratis inilah yang kemudian membawa Denny untuk disekolahkan di Sekolah Katolik saat SMA.

Otomatis, Denny pun banyak berkawan dengan teman-teman yang beragama Katolik. Namun, di sinilah justru ujian keagamaan datang pertama kali kepadanya. Lembaga pendidikan tempatnya menggali ilmu justru sangat ketat dalam mendoktrin agama Katolik pada anak-anak didiknya. Seluruh siswanya diharuskan masuk ke agama Katolik. “Jika tidak, hal itu sangat berpengaruh pada nilai kelas,” ujar Denny berkisah.

Dalam kondisi terpaksa Denny pun mulai belajar agama Katolik sebenar-benarnya. Ia membaca Bible dan pergi ke gereja dengan sangat rajin. Setelah setahun bergelut dengan ajaran-ajaran Katolik ia pun memutuskan untuk masuk Katolik. Saat itu ia kelas dua. “Saya pun mulai dibaptis,” ujarnya.

Berpindahnya Denny ke agama Katolik ini diketahui oleh orang tua dan keluarganya. Namun, mereka tidak marah. Mereka memperbolehkan anak-anaknya untuk memeluk agama manapun, asalkan bukan Islam. Jadi, ketika mengetahui Denny beralih agama ke Katolik, respon keluarga pun biasa-biasa saja.

Namun, ajaran agama yang baru digenggamnya itu justru tidak memuaskan dahaga spiritualnya. Sejak itu, Denny malah semakin malas pergi ke gereja. “Saya sendiri tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi?” ujar Denny penuh keheranan. Yang jelas, Denny merasa tidak nyaman saja dalam menjalani agama tersebut.

Hatinya gelisah dan tak karuan. Di tengah hatinya yang sedang gundah gulana itulah ia akhirnya bertemu dengan seseorang yang cukup mengerti tentang agama, meski bukan seorang ustadz. Ia pun mengutarakan kegundahannya ini. Bagi seorang anak remaja yang masih kelas tiga saat itu, jelas saja sikap Denny ini mengundang decak kagum orang itu. Bagaimana mungkin seorang anak remaja sudah mengungkap kegelisahan dirinya terkait masalah keyakinan? Tapi itulah kenyataannya.

Denny bertanya pada orang itu, “Pak, sejak saya memeluk Katolik kok hati selalu gelisah. Saya semakin males pergi ke gereja. Ada apa ya?”
Orang itu bertanya balik, “Kamu percaya Tuhan?”

“Ya,” jawab Denny.

“Berdoalah kepadanya, tapi jangan menyebut nama Tuhan saya (Allah) dan juga tuhan kamu (Allah dibaca Alah),” ujar orang itu.

“Doa apa yang harus saya baca,” tanya Denny penasaran.
Berdoalah sebelum tidur demikian, “Ya Tuhan tolonglah saya. Tunjukkan saya agama mana yang paling benar di dunia dan akherat. Yang dapat menyelamatkan saya di dunia dan akherat.”

Karena Denny sedang bersemangat untuk mencari kebenaran, malam itu juga sebelum tidur ia membaca doa tersebut. Enggak tahu, apa kebetulan atau tidak, besok harinya justru hari Ramadhan. Denny menyadari kalau pada saat-saat seperti ini umat Islam akan berpuasa. Besok harinya ia pun mencoba untuk berpuasa.

Hal itu terus berlangsung hingga memasuki puasa hari ke tujuh. Denny selalu berpuasa. Pada hari ketujuh, menjelang Maghrib Denny menyetel radio. Tanpa diduga-duga ia mendengar suara adzan yang sangat merdu dari balik radio. Saking terkejutnya ia pingsan sejenak selama kurang lebih semenit. “Saya sendiri heran, padahal setiap hari saya sering mendengar adzan dari tetangga terdekat,” ujar Denny yang sejak kecil memang hidup di tengah masyarakat yang banyak beragama Islam ini.

Bagi Denny, apa yang dialaminya itu merupakan salah satu kejadian yang luar biasa dalam hidupnya. Betapa tidak, ia tidak pernah pingsan selama ini –apalagi oleh sebuah kasus yang sebenarnya sering ia dengar dari masjid atau mushola di lingkungannya. Tapi, kenapa adzan di bulan Ramadhan yang didengarnya lewat radio justru menggetarkan jiwanya hingga membuatnya pingsan? Pertanyaan inilah yang sejenak membuat Denny tidak bisa berkata apa-apa saat itu.

Kejadian ini pun dihaturkan ke orang yang cukup mengerti agama itu, “Pak, apa artinya ini?”

“Mungkin itu sebuah hidayah dari Tuhan. Tapi, coba saja kamu terus berdoa kepada Tuhan menjelang tidur dari doa yang saya ajarkan itu,” ujar orang itu, yang hingga kini Denny sudah lupa namanya.

Sejak kejadian itu, Denny pun terus berdoa menjelang tidur dengan doa yang sama, yang selama ini selalu ia panjatkan. Pada puasa minggu kedua dan Denny juga tetap berpuasa, kejadian religus kembali menghantui dirinya. Ia bermimpi melihat orang sedang bermain rebana di televisi. Saking terkejutnya, hal itu membuatnya terjaga dari mimpi. Ia terus memikirkan mimpi itu. Sepintas hatinya pun terketuk, “Itu ‘kan musik Islam.”

Hal ini pun kembali ia utarakan pada orang itu dan jawaban yang sama pun meluncur dari bibirnya, “Kamu berdoa saja terus menjelang tidur dengan doa yang sama.” Tak terasa, puasa pun telah di ambang perpisahan. Saat itu puasa telah memasuki hari ke-20, hendak memasuki hari ke-21 dan Denny masih berpuasa. Tiba-tiba, Denny dipanggil oleh orang itu ke rumahnya.

Di depan Denny orang itu meminta, “Den, kalau bisa malam ini kamu jangan tidur. Kalau saya jelaskan kamu nanti tidak akan mengerti.Yang jelas, malam ini adalah malam istimewa, mungkin keistimewaan itu akan turun ke kamu.”

Tanpa mau bertanya lebih lanjut, Denny pun pulang dari rumah orang itu. Namun, ia tidak pulang ke rumah, tapi pulang ke pabrik minuman ringan milik kedua orang tuanya. Di pabrik itu, ia naik ke tingkat dua. Di sana ia menghadap kiblat dan bertafakur dengan khusyuk. Di tengah-tengah perenungannya, tiba-tiba tangan kirinya seperti ada yang mencengkeram begitu kuatnya, hingga ia tidak bisa bergerak. Ia berusaha memberontak, tapi tak kuasa. Akhirnya, ia pasrah. Tak lama kemudian cengkeraman itu berangsur lepas dari tangannya.

Kejadian itu tidak membuat Denny ketakutan. Ia malah turun ke bawah mendekati pancuran untuk mengambil air wudhu. Sebuah tindakan yang sebenarnya tidak ia mengerti sama sekali. Dia saat itulah peristiwa aneh kembali terjadi saat ia sedang menyela jari-jari tangannya. Jari-jari tangan kanannya seperti tertahan begitu kuatnya di pangkal jari-jari tangan kirinya dan sangat sulit dilepaskan. “Sepertinya Tuhan sedang mengeluarkan dosa-dosa saya,” ujarnya. Saat peristiwa itu terjadi, jam telah menunjukkan pukul satu malam. Kata ulama, inilah malam lailatul qadar.

Setelah kejadian itu, ia kembali naik ke atas untuk menunaikan shalat dua rakaat. Entahlah, bisikan hati apa yang menggerakan Denny untuk melakukan semuanya ini. Padahal, ia belum menjadi seorang Muslim. Ia mengikuti kata hati saja untuk melakukan gerakan-gerakan yang sudah lazim dilakukan oleh umat Islam yaitu shalat sunnah. Usai itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang menimpanya dan ia pun pulang ke rumahnya.

Besok harinya ia menemui orang itu kembali dan menceritakan apa saja yang baru dialaminya. Dengan diplomatis orang itu pun kembali berkata, “Kamu telah mengalami semuanya. Sekarang terserah kamu. Sebab, Islam tidak pernah memaksakan siapapun untuk memeluk agamanya.”

Denny berpikir sejenak. Akhirnya keputusan terbesar dalam hidupnya pun diambil. Ia memilih untuk menjadi muallaf. Subhanallah! Tidak mau kebahagiaan ini tertunda, usai puasa dan idul fitri ia pun menemui orang itu. Di depan orang itu, Denny pun mengutarakan keinginannya tersebut. Orang itu patut bersyukur kepada Allah karena hidayah akhirnya turun kepada seorang anak muda di malam penuh berkah yaitu malam lailatul qadar. Jika saja dinding dan rumput bisa bicara, mungkin mereka akan ikut bertasbih kepada Allah karena melihat salah seorang hamba-Nya akhirnya memilih jalan yang benar.

Seketika itu juga Denny dikhitan di sebuah rumah sakit, tanpa didampingi orang tuanya, yang memang belum mengetahui tentang keislamannya tersebut. Tak lama kemudian ia mengucap syadahat di rumah orang itu dengan memanggil seorang ustadz. Sejak itu, Denny pun resmi menjadi seorang muslim sejati. Sebuah hal yang dilaluinya dengan proses yang tidak mudah. Sebagian orang menilai bahwa Denny telah mendapatkan malam lailatur qadar. Wallahu a’lam bil shawab!

Diusir Keluarga
Sejak menjadi seorang Muslim, Denny pun mulai rutin menjalani shalat dan puasa. Selama dua tahun, keislaman Denny ini mampu ditutupinya dengan sangat erat. Namun, sepandai-pandainya orang menjaga rahasia akhirnya terbongkar juga. Ini pula yang dialami oleh Denny.
Kebetulan pabrik minuman milik bapaknya kena gusuran. Untuk sementara, letaknya pun pindah ke rumahnya. Nah, di situlah gelagat keislaman Denny mulai tercium keluarganya. Soalnya, sebelum pabrik itu pindah, Denny selalu melakukan rutinitas keislamannya di pabrik tersebut. Otomatis, ketika pabrik itu pindah, ia pun melakukan semuanya di pabrik atau di rumah, yang otomatis diketahui oleh keluarga.
Denny pun diintrogasi oleh ayah. Namun, di depan sang ayah dan keluarganya, ia selalu mengaku non-Muslim. Tapi, sang ayah tidak percaya begitu saja. Sang ayah pun mulai melarang Denny bepergian ke luar rumah. Takut ia melakukan akvitias ibadahnya di luar. Termasuk ketika hari Jum’at tiba. Denny dilarang keluar untuk melakukan shalat Jum’at. Namun, Denny selalu bisa berkelit. Ia berusaha melakukan apa saja agar tetap bisa shalat dan puasa, meski dalam kontrol keluarganya yang sangat ketat.
Untuk menguji kebenaran Denny, pernah suatu saat di bulan puasa ia disuruh makan bubur dan telur. Namun, hendak saja ia makan telur, tiba-tiba ayahnya kedatangan tamu. Saat sang ayah pergi, saat itulah ia membuang telur dan bubur tersebut. Ketika ayah kembali, Denny pun bilang kalau ia sudah memakannya habis. Sang ayah pun percaya.
Tapi, suatu kali ayah dan keluarganya benar-benar mengetahui kalau Denny adalah seorang Muslim. Betapa murkanya mereka pada Denny. Hingga mereka sempat berucap kalau darah Denny adalah halal. Artinya, kalaupun dibunuh hal itu tidak menjadi masalah karena Denny telah murtad. “Mereka sudah menganggap saya seperti bukan saudara lagi,” ujar Denny berkisah.
Kamar Denny pun diobrak-abrik dan sajadahnya dibakar. Lebih tragis lagi, Denny hampir sempat dibunuh oleh adiknya sendiri. Hanya saja, tidak sempat melukainya secara serius, hanya terluka sedikit. Ulah sang adik ini diketahui oleh warga. Warga yang jengkel melihat sesama muslimnya teraniaya, akhirnya mengeroyok adik Denny dalam suatu kesempatan. Hal ini pun menjadi perkara di kepolisian. Oleh adiknya, Denny dituduh sebagai biang dari adanya pengeroyokan tersebut. “Padahal, saya tidak pernah menyuruh mereka sama sekali,” ujar Denny.
Mulai dari cara yang halus hingga cara yang kasar sudah ditempuh oleh ayah dan keluarganya. Namun, tak kuasa juga merubah keislaman Denny. Akhirnya, Denny pun diusir dari rumah. Setelah diusir, hidup Denny pun tidak menentu. Di mana suka ia menetap, kadang di PITI (lembaga muallaf) dan sebagainya.
Namun begitu, di tengah jalan, sang ayah kadang masih menitip pesan kepadanya lewat orang bahwa Denny bisa diterima kembali di keluarganya kalau ia mau balik ke agama yang lama. Tapi, Denny menolak tawaran itu. Baginya, Islam sudah merupakan harga mati. Sebuah prinsip yang patut kita tiru bersama.
Dalam kondisi seperti itulah, justru Denny menemukan jodohnya. Ia akhirnya menikahi seorang gadis Muslimah keturunan Cina yang bernama Haryani (Tjong Siu Lan), arek Sukabumi. Denny menikah di pengadilan sipil karena sang ayah tidak merestuinya. Namun, demi gengsi pada teman-temannya, beberapa saat kemudian sang ayah membuatkan pesta pernikahan untuk Denny di sebuah gedung. “Tapi, setelah itu kami kembali tidak akur. Masalah akidah kami tetap berbeda,” ujar Denny.
Ujian kemudian datang lagi kepada Denny. Aset-aset perusahaan milik bapaknya yang memang atas nama dirinya akan dirubah. Diketahui, bahwa sejak ibunya meninggal segala aset perusahaan milik orang tuanya berubah menjadi atas nama Denny. Namun, setelah Denny beragama Islam, sang ayah mengancam akan menyita semua aset-asetnya dan berbalik nama lagi ke diri sang ayah. “Saya akan mendapatkan kembali aset-aset itu kalau saya balik lagi ke agama yang lama,” ujar Denny.
Tapi, Denny tidak mau menurut. Ia malah datang ke notaris bersama sang ayah untuk merubah kembali nama aset-aset perusahaan atas namanya tersebut menjadi atas nama ayahnya. Denny berprinsip lebih baik kehilangan harta (aset) daripada harus menggadai keislamannya. Sejak itu, sang ayah sendiri bergegas merubah nama Cina-nya dengan nama pribumi. Setelah tidak punya aset di perusahaan milik bapaknya, praktis Denny pun berjuang dari titik nol lagi.
Tiga tahun yang lalu, ayahnya meninggal dunia. Tiga tahun sebelum kepergiannya ke alam baka, hubungan Denny dengan sang ayah sebenarnya sudah membaik setelah 15 tahun tidak akur. Ayahnya sudah semakin bijak dan mulai terbuka hatinya untuk menerima kehadiran Denny. “Saya salut sama kamu, Den. Kamu tidak mendendam pada ayah,” ujar Denny menirukan perkataan ayahnya kala itu. Sayangnya, hati sang ayah belum terbuka untuk menerima Islam.
Kini, hidup Denny bersama keempat anaknya begitu bahagia. Anak tertuanya sedang menuntut ilmu di negeri sang leluhur, yaitu Cina. Anak keduanya akan menyusul ke sana. Sementara anak ketiga dan keempat sekolah di sebuah lembaga pendidikan milik Kerajaan Arab Saudi, yang sehari-hari menggunakan bahasa Arab. Hal yang sangat membanggakan Denny dan istrinya, kedua anaknya yang masih kecil-kecil tersebut sangat berprestasi dan terpilih sebagai siswa teladan di sekolahnya. Sebuah hal yang patut disyukurinya, mengingat betapa beratnya perjuangan dirinya saat di awal-awal mengikrarkan dirinya menjadi seorang Muslim.
Kini, untuk menghidupi keluarga, Denny mendirikan PT. UD Mulia yang sudah dirintisnya selama beberapa tahun. Perusahaan ini bergerak di bidang supplier limbah kertas. Sang istri sendiri, Haryani, membuka terapi kesehatan refleksi dan totok aura di rumahnya. “Alhamdulillah, semua ini saya rasakan berkat kesabaran saya dan istri dalam menghadapi ujian ini,” ujar Denny menutup kisahnya pada Hidayah.
Demikian kisah seorang muallaf yang harus melalui proses berliku, bahkan ancaman pengusiran dan pembunuhan dari keluarganya, untuk mempertahankan keislamannya. Sebuah hal yang patut kita tiru bersama dari orang-orang yang memang sejak kecil terdidik sebagai seorang Muslim bahwa mempertahankan akidah itu ternyata jauh lebih penting dibandingkan sekedar nilai materi yang sebenarnya tidak ada nilainya apa-apa. Sekali lagi, semoga kita bisa belajar banyak dari kisah ini! Amien.

Eep Khunaefi

Tidak ada komentar: